Connect with us

HUKRIM

Buntut Kasus Terdakwa Penjol : Dr Marthen H Toelle SH MH Tolak Keterangan Ahli

Published

on

KopiPagi | SALATIGA : Sidang perkara pidana dengan Nomor : 50/Pid.Sus/2021/PN.Slt dengan terdakwa Sriyono alias Penjol warga Warak, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga kini memasuki tahapan pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan pada sidangnya Senin (24/05/2021) dihadirkan seorang ahli untuk memberikan keterangannya di depan persidangan terkait perkara dugaan tindak pidana pencabulan anak.

Ahli disini sebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) – Pasal 1 angka 28 yang menyatakan “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Penegasan selanjutnya diatur dalam Pasal 186 KUHAP bahwa  “Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan, bahkan dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan”. Serta dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Dr Marthen H Toelle SH MH, kuasa hukum terdakwa Sriyono alias Penjol menyatakan, bahwa surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (Pasal 187 huruf C KUHAP). Dan dalam praktek hukum dikenal dengan “Visum Et Repertum” itu merupakah hasil kerja dari seorang ahli yang dalam praktek ilmu hukum disebut sebagai “Ahli Forensik”. Ahli Forensik ini adalah mereka yang menguasai ilmu kedokteran forensik, merupakan cabang dari spesialis ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu medis untuk menegakkan hukum dan memecahkan masalah kriminal.

“Untuk itu, ahli forensik adalah salah satu figur penting sebagai penegak hukum. Dan dalam kinerja dan keahliannya bekerja sebagai the silent expert who can talk with the silent witness. Jadi ahli forensik dalam mengemukakan pendapatnya sebagai suatu kesimpulam adalah berdasarkan ‘saksi bisu’ atau silent witness. Yang alat bukti berupa benda atau barang. Jika tanpa benda atau barang yang dijadikan dasar analisa maka itu bukanlah ahli forensik. Ini sangat terkait dengan ‘luka’ dan atau tindakan a susila,” kata Marthen H Toelle  didampingi Meila Fatma Herryani SH kepada koranpagionline.comSenin (24/05/2021).

Menurutnya, bahwa sesuai dengan alat bukti surat visum et repertum No :  370/1050/402.1, tertanggal 8 Desember 2020 yang dikeluarkan oleh Instalasi Pemulasaran Jenazah RSUD Salatiga dan ditandatangani Dokter Jamaludin Malik (dokter yang memeriksa) dan Dokter Wian Pisia Anggreliana MH SpKF adalah tidak memenuhi syarat administratif . Bahkan tidak sesuai dengan ketentuan udang-undang  (UU) yang berlaku. Seharusnya, visum et repertum yang dikeluarkan RSUD Salatiga merupakan hasil pemeriksaan oleh atau dari dan ditandatangani  seorang dokter ahli forensik. Ini sesuai dengan amanat undang-undang. Visum Et Repertum disini dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan seorang doker umum dan bukan dokter spesialis forensik. Untuk dokter spesialis forensik disini hanya sebagai yang mengetahui saja.

“Dokter spesialis forensik dalam kasus ini tidak memiliki tanggungjawab secara profesional sebagai figur penting yang merupakan penegak kukum untuk menegakkan hukum dan memecahkan masalah kriminal. Ini semua patut diduga akibat adanya kelalaian, ketidaktelitian serta sebagai kebiasaan yang selama ini diterima sebagai hal yang biasa dan wajar. Atau memang disengaja oleh penyidik ?. Karena, sesuai prosedur penyelidikan atau penyidikan kasus kriminal kekerasan yang mengakibatkan luka, tindak a susila, maka kewenangan penyidik untuk mendapatkan alat bukti surat berupa Visum Et Repertum,” jelasnya.

Ditambahkan, dalam kasus terdakwa Sriyono alias Penjol ini atas permintaan tertulis dari penyidik Polres Salatiga melalui surat tertanggal 01 Desember 2020, dengan Nomor Polisi : R/476/XII/2020/Reskrim kepada RSUD Salatiga. Pihaknya sangat menyayangkan kepada penyidik tidak menjalankan sesuai dengan Pasal 1 angka 28, dimana ditekankan bahwa visum et repertum itu wajib dibuat dan ditandatangani oleh seorang yang memiliki keahlian khusus.

Keahlian khusus yang dimaksud adalah tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Yaitu, seorang dokter sepesialis ilmu kedokteran forensik. Dengan demikian layak diduga telah terjadi ”mal-administrasi” dan ini seharusnya dikoreksi oleh JPU pada saat pelimpahan perkara oleh penyidik. Tetapi yang terjadi adalah pembiaran.

“Untuk itu pengawasan terakhir ada pada Hakim yang menyidangkaan perkara ini. Dimana harus memberikan penilaian dan pertimbangan hukum yang obyektif dalam penegakkan hukum. Pasalnya, surat visum et repertum dengan Nomor 370/1050/402.1, tertanggal 8 Desember 2020, dan dikeluarkan oleh Instalasi Pemulasaran Jenazah RSUD Salatiga itu tidak memenuhi syarat administratif. Bahkan, tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Selain itu, tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti surat yang sah,” ungkap Marthen lebih lanjut.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Salatiga, Dokter Jamaludin Malik menerangkan bahwa ahli adalah seorang dokter umum dan bukan seorang dokter spesialis forensik. Harusnya sebagai ahli yang mendapatkan surat tugas No : 800/1207/403.1, tanggal 21 Mei 2021 dan dikeluarkan oleh RSUD Salatiga. Surat tugas itu ditandatangani Listyono SKM MKes (Wadir Administrasi dan Keuangan) untuk dan atas nama Direktur RSUD Kota Salatiga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa surat tugas tersebut merupakan ‘mal-administratif’ dan sebuah kesengajaan dimana sebagai atasan tahu persis bahwa yang ditugaskan tidak memiliki keahlian khusus sebagai dokter ahli forensik.

“Atas keterangan ahli tersebut,  selaku penasehat hukum terdakwa Sriyono alias Penjol menyatakan menolak seluruh keterangan ahli. Pasalnya, ahli yang dihadirkan dalam sidang ini bukan seorang dokter forensik. Permasalahan ini tidak bisa dibiarkan menjadi suatu kebiasaan yang dianggap benar dan sudah seharusnya dikoreksi oleh Hakim yang menyidangkan perkara ini. Selain itu, agar tercipta suatu prosedur dan tata kelola administrasi yang benar untuk memberikan putusan yang benar dan berkeadilan. Sekali lagi, kami menolak seluruh keterangan ahli,” tandas Dr Marthen H Toelle SH MH didampingi Meila Fatma Herryani SH. ***

Pewarta : Heru Santoso.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *