Connect with us

BIVEST

MPSI Minta Tinjau Ulang : Cukai Rokok Naik, Pelinting Rokok Kretek “Menjerit”

Published

on

KopiPagi SALATIGA : Rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (rokok kretek) pada tahun 2021 mendatang banyak dinilai akan memberatkan dan membebani para pekerja dalam hal ini para pelinting rokok, bahkan terkait rencana tersebut Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Iondonesia (MPSI) meminta kepada pemerintah untuk meninjau ulang bahkan mengkaji rencana kenaikan tarif itu.

Direktur PT Agric Amarga Jaya (AAJ) Ujar Muryanto menyatakan, bahwa dengan munculnya kabar rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau di tahun 2021 mendatang itu, boleh dinilai merupakan “berita duka” bagi para buruh pelinting rokok. Pasalnya, PT AAJ di Salatiga ini merupakan mitra produksi sigaret PT HM Sampoerna Tbk yang membuat produk sigaret kretek tangan (SKT). Bahkan, dampak yang nantinya terjadi mengakibatkan tidak kurang ada 1.100 orang pekerja yang akan menderita dan menjadi korban dari rencana pemerintah itu.

“Yang jelas, jika pemerintah benar-benar menaikkan tarif tersebut maka hal itu merupakan ‘berita duka’ bagi khususnya PT AAJ. Dampaknya akan sangat besar diterima oleh ibu-ibu pelinting rokok yang tersebar di 27 kabupaten/kota di pula Jawa. Sementara khususnya di Jawa Tengah, para pelinting rokok ini menyebar diantaranya di Salatiga, Sragen, Klaten, Semarang, Kendal, Batang, Pekalongan, Blora, Kebumen serta Purworejo. Ini yang harus menjadi bahan salah satu pertimbangan pemerintah jika akan memutuskan kenaikan tarif cukai hasil tembakau di tahun 2021,” jelas Uud, demikian panggilan Ujar Muryanto kepada koranpagionline.com, Kamis (22/10/2020).

Menurutnya, PT AAJ sebagai salah satu anggota dari 38 anggota MPSI sangat prihatin dan ungakapan keprihatinan itu telah disampaikan kepada MPSI dan harapannya suara-suara lantang keprihatinan itu akan segera disampaikan kepada pemerintah. Selain itu, dengan pemerintah memperhatian ‘suara lantang’ MPSI maka baik Menteri Keuangan Sri Mulyani maupun Presiden RI Joko Widodo dapat mempertimbangkan uang bahkan mengkaji ulang rencana kenaikan itu.

“Pada intinya, kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada masa pandemi Covid-19, secara nyata akan memberikan dampak negatif bagi penghidupan puluhan ribu pelintinng SKT. Para pelinting ini juag merupakan tulang punggung keluarga, sehingga tidak ada alasan bahwa kenaikan itu harus ditinjau ulang,” ujarnya.

Ditambahkan, bahwa para pelinting rokok ini yang sebagian besar berpendidikan SD dan SMP dapat terancam lahan pekerjaannya sehari-hari. Hal ini terkait dengan permintaan pasar akan produk SKT yang mengalami penurunan tajam jika memang kenaikan tarif itu benar-benar disetujui pemerintah. Selain itu, para pelinting rokok jika akhirnya harus menerima keputusan perusahaan untuk di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), maka harus dipikirkan nasibnya lebih lanjut.

“Jika para pelinting rokok ini benar-benar menerima keputusan terburuk harus di PHK, selanjutnay siapa yang bertanggungjawab dan memperkerjakan kembali mereka semua. Dampak terburuk lagi, siapakah yang akan menyekolahkan anak-anak mereka. Ini yang harus juga menjadi bahan perenungan, pertimbangan dalam pengkajian akan kenaikan tarif tersebut,” katanya.

Disamping itu, belum lagi dampak diluar para pekerja atau pelinting rokok. Yaitu dampak perekonomian di kawasan produksi SKT, misalkan warung kelontong, warung makan, pedagang kaki lima (PKL), tempat kost maupun segi transportasi. Hal ini banyak menggantungkan dari kehidupan dari pelinting rokok di tempat produksi atau pabrik tersebut.

“Boleh dikatakan, bahwa pelaku usaha masyarakat di kawasan produksi SKT itu akan juga menerima dampak dari kenaikan tarif jika benar-benar diputuskan pada tahun 2021 mendatang. Mau tidak mau, perekonomian lokal khususnya menjadi lesu. Ini yang menjadi kekhawatiran para pelinting rokok maupun para pelaku usaha yang dilakukan masyarakat sekitar kawasan pabrik SKT,” ujarnya lebih lanjut.

Seperti diketahui bahwa MPSI telah memohon perlindungan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani danm Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok kretek tangan sehingga para buruh atau pelinting rokok kretek tetap dapat bekerja serta memberikan nafkahnya kepeda keluarga. Selain itu, secara umum perekonomian lokal atau kawasan produksi di 27 kabupaten/kota di Indonesia ini semakin bergairah dan menggeliat kondusif.

Selain itu, segera menjauhkan selisih tarif cukai rokok kretek tangan dengan rokok mesin sehingga produk kretek tangan tetap kompetitif bahkan lebih dari itu akan melindungi tenaga kerja kretek tangan. Perlu diketahui juga jika produk kretek tangan itu merupakan segmen padat karya, dimana satu orang pelinting rokok hanya mampu memproduksi tujuh batang rokok per menitnya. Sedangkan, satu unit mesin dapat memproduksi atau menghasilkan 16.000 batang rokok per menitnya.

“Dari hal itu jelas, jika kenaikan tarif cukai rikok kretek dinaikkan maka akan menjadikan pelinting rokok benar-benar menggelimpang. Apalagi di masa pandemi Covid-19 sekarang ini, jika pemerintah tetap memutuskan hal itu, maka boleh dikatakan pekerja atau pelinting rokok akan “mati”,” tandasnya. ***

Pewarta
Heru Santoso.


Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *