Connect with us

REGIONAL

Teguhkan Komitmennya : Kejari Batam Bangun 12 Rumah Restorative Justice

Published

on

BATAM | KopiPagi : Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), semakin meneguhkan komitmennya melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ) sebagai perwujudan kepastian hukum.
Buktinya, Korps Adhyaksa yang dipimpin Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Batam, Herlina Setyorini SH MH, ini membangun sebanyak 12 Rumah Restoratif Justice yang berlokasi di 12 kecamatan di Kota Batam.
Tentu saja ini bukan pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan komitmen, tekad, semangat dan keinginan kuat tanpa pamrih, walaupun pada akhirnya Kejari Batam dinobatkan sebagai Peringkat III Kejari type A se Indonesia dalam penerapan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ). Tentu saja kinerja Kejari Batam layak diapresiasi dan diacungi jempol.
Keberadaan 12 Rumah RJ ini — terbanyak di Indonesia — berfungsi sebagai tempat penyelesaian atau perdamaian perkara tindak pidana ringan, tanpa harus melalui proses persidangan.
Tujuannya juga untuk memberi rasa keadilan di tengah masyarakat yang terlibat hukum.
Kajari Batam, Herlina Setyorini, mengungkapkan, pihaknya melakukan RJ di Rumah RJ.
Selain itu, juga melakukan penerangan hukum di Rumah RJ, tak hanya untuk perkara pidana umum (pidum), tapi juga perkara perdata dan tata usaha negara (Datun).
“Jadi masyarakat yang butuh penerangan hukum, juga bisa melalui Rumah RJ yang telah kami resmikan,” jelas Herlina Setyorini.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh koranpagionline.com menyebutkan, permohonan RJ dapat dikabulkan apabila :
– Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah  memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif
“Lalu kita laksanakan gelar perkara (ekspose) secara virtual yang dihadiri bapak Jampidum Fadil Zumhana. Kalau disetujui tinggal kita siapkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ),” terang Herlina Setyorini. *Kop/berbagai sumber.
Editor : Syamsuri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *