Connect with us

HUKRIM

Jadi Korban Mafia Hukum : Minta Perlindungan Kapolri & Jaksa Agung

Published

on

KopiPagi | JAKARTA : Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, Zaenal Tayeb, seorang pencari keadilan yang menjadi korban sekelompok orang yang diduga mafia hukum di kepolisian dan kejaksaan wilayah Badung, Provinsi Bali, menyampaikan surat permohonan perlindungan hukum kepada Kapolri dan Jaksa Agung.

“Surat permohonan perlindungan hukum disampaikan kepada Kapolri dan Jaksa Agung,” ujar Mila Tayeb Sedana SH, kuasa hukum Zaenal Tayeb, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (15/04/2021), usai menyampaikan permohonan perlindungan hukum ke Kapolri.

Mila Tayeb Sedana SH mengungkapkan, kasus ini bermula sekira tahun 2013 Pelapor, Hendar Giacomo Boy Syam, datang menemui Zaenal Tayeb di rumahnya untuk membicarakan rencana kerja sama mengelola tanah Zaenal Tayeb seluas  17.302 m2 yang terletak di Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Balo.

Tanah seluas 17.302 meter persegi itu terdiri dari Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 339/Ds. Cemagi seluas 2.070 M2, SHM No. 849/Ds. Cemagi seluas  1.855 M2, SHM No. 243/Ds. Cemagi seluas  278 M2,  SHM No. 1269/Ds. Cemagi seluas 1.050 M2, SHM No.244/Ds. Cemagi seluas 1.279 M2, SHM No. 1521/Ds. Cemagi seluas 2.950 M2, SHM No. 429/Ds. Cemagi seluas 1.830 M2, SHM No. 1270/Ds. Cemanggi seluas 2.200 M2 dan SHM No.583/Ds. Cemanggi seluas 3.500 M2. Kesemua SHM ini atas nama Zaenal Tayeb.

Dari hasil pembicaraan telah disepakati, antara lain dari luas tanah 17.302 M2, yang dikerjasamakan hanya seluas 13.700 M2. Dengan catatan, luas tanah yang tidak dijual adalah  1.700 M2 yang terbagi menjadi 2 blok, yakni Blok Beach Club seluas 900 M2 dan Blok A seluas  800 M2 serta satu tanah lagi seluas 1.700 M2, sehingga total tanah yang tidak dijual kurang lebih seluas 3.400 M2.

Kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam Akte No. 33 pembangunan dan penjualan properti Ombak Luxury Residence, yang diterbitkan oleh Notaris BFHarry Prastawa SH di Badung, Bali, tertanggal 27 September 2017.

Dalam pembuatan Akte No. 33 tersebut, Yuri Pranatomo berkedudukan selaku pihak yang disepakati para pihak untuk membuat draft perjanjian, yang kemudian dijalankan sesuai dengan petunjuk bersama Zaenal Tayeb dan Hendar Giacomo Boy Syam.

Dalam pembuatan draft perjanjian Yuri Pranatomo mengadopsi contoh yang pernah ada di PT Mirah Bali Konstruksi, setelah selesai diserahan ke notaries BF Harry Orastawa untuk dicocokan oleh notaries terkait dengan detail-detail di dalam perjanjian tersebut.

Setelah dokumen perjanjian tersebut sudah dianggap selesai dan lengkap selanjutnya notaries Harry Prastawa membawa perjanjian tersebut untuk dibacakan dihadapan Zaenal Tayeb dan Hendar Giacomo Boy Syam yang dimana para pihak sudah mengetahui isi perjanjian tersebut.

Perjanjian dibuat notaris dengan  mengacu kepada Pasal 15 UUJN bahwa notaris berwenang membuat Akta Autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Autentik jo Pasal 38 ayat 3 c UUJN bahwa isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan.

Mengenai harga permeter tanah seluas 13.700 M2 ditetapkan sebesar Rp 4.500.000, sehingga nilai tanah total keseluruhan adalah Rp  61.650.000.000, dengan termint pembayaran sesuai Perjanjian Kerjasama Pembangunan dan Penjualan No. 33, yang merujuk pada pasal 3.

Kemudian dilakukanlah pembangunan yang mana uang untuk pembangunan tersebut adalah berasal dari Zaenal Tayeb yang diperoleh dari pinjaman pribadi di Bank CIMB Niaga sebesar Rp 20.000.000.000.

Terhadap uang tersebut, PT Mirah Bali Konstruksi telah melakukan pembayaran dengan cara mengangsur, namun sampai saat ini belum dibayarkan kembali oleh Hendar Giacomo Boy kepada Zaenal Tayeb Rp.6.000.000.000.

Pemasaran dan penjualan pun dilakukan oleh PT Mirah Bali Konstruksi, dimana semua perencanaan dan pelaksanaannya diatur langsung oleh Hendar Giacomo Boy Syam selaku direktur perusahaan.

Bahkan, kata Mila Taheb Sedana SH, selain uang Rp 6.000.000.000 yang belum dibayar, ternyata tanah seluas  1.700 M2  yang tidak termasuk dalam perjanjian disepakati oleh Hendar Giacomo Boy Syam dijual kepada pihak ketiga, yakni Christopher Edward Kidd.

“Dan uang hasil penjualan tanah tersebut, hingga kini tidak pernah diserahkan kepada Klien kami (Zaenal Tayeb-red), sehingga terkait persoalan ini telah kami laporkan ke Ditrreskrimum Polda Bali, sebagaimana Laporan Polisi No: LP/391/X/2020/BALI/SPKT tertanggal 20 Okrober 2020,” kata Mila Tayeb Sedana.

Dia menambahkan, alih-alih mengembaikan uang sebesar  Rp6.000.000.000 dan hasil penjualan tanah seluas 1.700 M2, Hendar Giacomo Boy Syam malah melaporkan Zaenal Tayeb berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP-B/43/II/2020/Bali/Res Badung tanggal 5 Februari 2020 tersebut dengan tuduhan palsu, yakni menjual tanah kurang luas, mengaku mengalami kerugian sebesar kurang lebih Rp 9.000.000.000.

“Klien Kami (Zaenal Tayeb-red) kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Tim Penyidik Satreskrim Polres Badung. Ini strategi praktek mafia yang licik dan kasar, yang ironisnya mendapat dukungan dari oknum penyidik dan JPU,” ujar Mila Tayeb Sedana, SH.

Padahal, kata Mila Sedana SH, berdasarkan fakta dan hukumnya, tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan Zaenal Tayeb, sehingga  sangat nyata kalau penetapan Zaenal Tayeb sebagai tersangka oleh Tim Penyidik Satreskrim Polres Badung adalah bertentangan hukum, tindakan yang semena-mena (obuse of power) dan kesesatan dalam menjalankan hukum acara pidana (misbruik van rect process).

“Rekayasa dan kriminalisasi yang dilakukan oknum Tim Penyidik Satreskrim Polres Badung tidak mencerminkan Polri yang Presisi, sekaligus tidak mengindahkan statement Presiden Joko Widodo yang mengultimatum akan mencopot para penegak hukum yang terlibat mafia, yang kerap “menggigit” orang yang benar, serta melindungi orang yang bersalah, yang hendaknya menjadi perhatian Kapolri dan Jaksa Agung RI,” tandas Mila Sedana.

Menurut Mila Tayeb, penetapan tersangka terhadap kliennya merupakan maladministrasi dalam penyidikan, yang bila tidak dicegah dapat menjadi embrio peradilan sesat dan menciptakan keputusan hakim yang tidak adil serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) sipil dan politik.

“Secara universal penyidikan yang dilakukan Tim Penyidik Tim Penyidik Satreskrim Polres Badung dapat dikualifikasikan sebagai rangkaian penegakan hukum yang dapat digunakan untuk menuntut seseorang atas perbuatan yang tidak dilakukannya melalui proses yang tidak adil. Tidak mencerminkan Polri yang Presisi,” ujarnya.

Mila Sedana menegaskan, penyidik Polres Badung, Bali, dan jaksa setempat menelan mentah-mentah dalil palsu yang dibangun pelapor Hendar Giacomo Boy Syam tanpa mempertimbangkan serangkaian alat bukti lain yang saling berkesesuaian yang disodorkan pihak Zaenal Tayeb.

Faktanya tidak ada keterangan yang tidak benar yang diberikan Zaenal Tayeb dalam membuat akte perjanjian kerjsama. Luas tanah yang didalilkan secara palsu berkurang, nyatanya tidak benar, luas tetap 13.700 M2.

Menurutnya, justeru sejatinya pelapor Hendar Giacomo Boy Syam yang telah merugikan kliennya kurang lebih sebesar Rp 9 milyar, akibat terjadinya dugaan penggelapan dan hal ini telah dilaporkan ke Polda Bali, sesuai Laporan Polisi No: LP/391/X/2020/BALI/SPKT tertanggal 20 Oktober 2020. ***

Pewarta : Syamsuri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *