Connect with us

HUKRIM

UU yang Baru : Kejaksaan Diharapkan Mampu Berperan Sebagai “Dominis Litis”

Published

on

JAKARTA | KopiPagi : Sejumlah pakar hukum mengapresiasi keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang mensahkan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 16 tahun 2004 menjadi undang-undang.

“Dengan disahkannya UU Kejaksaan Nomor 16 tahun 2004 yang baru ini diharapkan akan memperbaiki kinerja kejaksaan di masa mendatang lebih produktif, profesional dan lebih berinteritas,” ujar Profesor Dr Suparji Ahmad SH MH, pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, dalam percakapannya dengan koranpagionline.com di Jakarta, kemarin.

Pada sisi yang lain, kata Suparji Ahmad, dengan disahkannya UU Kejaksaan yang baru itu, Kejaksaan dapat semakin lebih menjalankan peran sebagai dominis litis atau pengendali perkara.

Peran tersebut diharapkan lebih optimal, sehingga dapat dilakukan tindakan kebijakan-kebijakan strategis supaya proses penegakan hukum itu dapat berlangsung secara efektif dan efisien.

Menurut Suparji, sebagai pengendali perkara maka menjadi penting untuk memediasi atau menjembatani tentang kelanjutan sebuah perkara. Disitulah nanti Kejaksaan akan berperan bagaimana menerima, menseleksi dan melanjutkan sebuah perkara. “Peran ini harus dioptimalkan,” pungkasnya.

Selain itu, tambah Suparji, dengan dibangunnya paradigm Restoratif Justice (RJ) yang diusung Jaksa Agung Burhanuddin, maka akan semakin mendapatkan legitimasi berdasarkan UU Kejaksaan yang baru ini. Dengan demikian melalui UU Kejaksaan yang baru ini, Restoratif Justice (RJ) itu dapat lebih nyata hasilnya.

“Seperti kasus valencya di Karawang dan kasus mbah minto di Demak itu tidak akan terulang lagi karena bisa dikedepenkan dengan pendekatan-pendekatan Restoraatif Justice (RJ),” tutur pengajar ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia itu.

Fajlurrahman Jurdi SH MH

Hal senada diungkapkan pula oleh Fajlurrahman Jurdi SH MH, Ketua Pusat Kajian Kejaksaan pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan, yang menilai dengan disahkannya revisi RUU Kejaksaan No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menjadi undang-undang membawa angin segar dan energi positif bagi kejaksaan menjawab perkembangan penegakan hukum.

Menurut Dia, UU Kejaksaan Nomor 16 tahun 2004 yang baru ini adalah upaya politik hukum untuk melindungi dan memberi jaminan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat melalui institusi Kejaksaan.

“Kami sangat gembira dan mendukung penuh pengesahan UU Kejaksaan RI nomor 16 tahun 2004 ini,” ujar Dosen ilmu hukum pada Fakultas Hukum Unhas Makassar itu.

Sementara itu Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Barita Simanjuntak, mengatakan, UU Kejaksaan Nomor 16 tahun 2004 yang baru itu dibutuhkan kejaksaan sebagai pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan yang bergerak dinamis, pasti dan terukur.

Misalnya, kata Barita, yang berkaitan dengan kewenangan penyadapan. Kewenangan itu telah sejalan dengan fungsi dan kewenangan Kejaksaan sebagai bagian dari intelejen Negara, yaitu intelijen penegakan hukum yang juga diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2011 maka kewenangan penyadapan mutlak diperlukan.

“Sebab tidak mungkin fungsi ini bisa berjalan dengan baik tanpa kewenangan tersebut,” jelasnya.

Menurut Dia, besarnya kewenangan Jaksa dalam UU 16/2004 itu seimbang dengan pengawasan yang akan didapatkan Korps Adhyaksa. Pengawasan itu diatur dam Peraturan Pemerintah hingga peraturan Jaksa Agung sebagai pedoman para Jaksa.

“Karena itulah UU sendiri telah mempersyaratkan secara ketat pengawasannya melalui adanya ijin pengadilan atau hakim secara teknis dan pengawasan oleh internal Kejaksaan maupun oleh Komisi Kejaksaan sesuai tugas dan kewenangannya,” ungkap dia.

Di sisi lain, Barita menyatakan UU 16/2004 memberikan kewenangan para Jaksa untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK). Terkait hal itu, kewenangan tersebut bertujuan untuk memberikan landasan kuat terhadap kejahatan besar.

“PK ini adalah untuk memberikan landasan yang lebih kuat khususnya untuk kejahatan-kejahatan yang skala besar, kasus Tipikor, pelanggaran HAM yang banyak mengalami kesulitan dalam pembuktian dan juga untuk kepentingan umum. Sebab Kejaksaanlah yang punya kewenangan mewakili kepentingan umum,” terang dia.

Ia menambahkan kewenangan lainnya adalah perlindungan jaksa dan keluarganya khususnya dalam menjalankan tugas penegakan hukum yang disesuaikan dengan standar yang dikeluarkan asosiasi profesi jaksa internasional.

“Terakhir berkaitan dengan status kekhususan Jaksa sebagai ASN khusus yaitu kekhususan dengan fungsi penegakan hukum yang memiliki karakteristik khusus yang penilaian dan parameter kepegawaian mesti diselaraskan dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai Jaksa yang merdeka dalam melaksanakan tugas dimaksud,” tutur Barita. ***

Pewarta : Syamsuri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *