Connect with us

HUKRIM

Revisi RUU Kejaksaan Momentum Wujudkan Masyarakat Adil dan Makmur

Published

on

KopiPagi JAKARTA : Revisi RUU Kejaksaan merupakan momentum bagi Kejaksaan untuk berbuat lebih baik lagi menjalankan tugas dan fungsinya menegakan keadilan dan kebenaran yang dilandasi kearifan silih asih, silih asah serta silih asuh dalam mewujudkan terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Demikian ditegaskan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam seminar nasional secara virtual (webinar) yang diselenggarakan atas kerjasama Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminolog Indonesia (MAHUPIKI) dan Universitas Pakuan (UNPAK) Bogor dengan tema “Membedah RUU Kejaksaan” yang dilaksanakan oleh Universitas Pakuan di Hotel Salak Heritage, Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/10/2020).

Jaksa Agung mengatakan, dalam membedah RUU Kejaksaan haruslah melihat secara utuh, holistik dan komprehensif terhadap tugas dan wewenang Jaksa yang tidak sekedar tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja, melainkan juga yang terncatum di berbagai macam aturan hukum dan asas-asas hukum yang lain, baik yang berlaku secara nasional maupun internasional.

KUHAP hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa. “Terlalu sempit pandangan jika kita melihat RUU Perubahan ini hanya dari sudut pandang KUHAP,” ujar Burhanuddin.

Dinamika hukum dan masyarakat serta perkembangan teknologi, kata Jaksa Agung, juga turut andil melatarbelakangi urgensi perlunya dilakukan perubahan atas UU Kejaksaan. Tercatat, beberapa judicial review diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji validitas UU Kejaksaan terhadap UUD 1945.

“Berbagai dinamika tersebut sudah seharusnya diakomodasi dan ditindaklanjuti dalam perubahan UU Kejaksaan,” ucapnya.

Disebutkan Jaksa Agung bahwa setidaknya terdapat 6 urgensi diperlukannya perubahan UU Kejaksaan, yaitu dinamika yang berkembang dan kebutuhan hukum di masyarakat, adanya beberapa judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU Kejaksaan, perkembangan hukum dalam hukum nasional, hukum internasional, dan doktrin terbaru, penerapan asas-asas hukum dan filosofis hukum, konvensi yang berlaku dan diakui secara universal serta dan perkembangan teknologi dan informasi.

Selanjutnya Jaksa Agung menambahkan bahwa untuk lebih memahami konsep dalam RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan, sebaiknya kita terlebih dahulu membaca naskah akademik sebagai kajian ilmiah atas penyusunan RUU Perubahan ini.

Didalam naskah akademik telah terurai secara utuh dan komprehensif bagaimana arah dan dari mana munculnya berbagai kewenangan Kejaksaan di dalam RUU Perubahan ini.

“Setidaknya terdapat 4 kesimpulan di dalam naskah akademik yang dapat kita pelajari dan pahami bersama atas penyusunan RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan ini,” kata Jaksa Agung Burhanuddin.

Pertama, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan tidak kembali ke HIR. RUU Perubahan ini justru cerminan hukum yang progesif karena telah mengakomodir beberapa ketentuan yang berlaku dan diakui secara universal dan internasional. saat ini.

Ketentuan tersebut diantaranya yang diamanatkan dalam Guidelines on The Role of Prosecutor, IAP (International Association of Prosecutors), UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), UNCAC (United Nations Convention Against Corruption), UNTOC (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and The Protocol Thereto) dan Statuta Roma;

Kedua, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan telah sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku. Asas ini menjadi landas pijak Kejaksaan dalam menyelenggarakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan fungsi penegakan hukum yang meliputi asas single prosecution system, asas dominus litis, asas oportunitas, asas independensi penuntutan dan asas perlindungan Jaksa.

Ketiga, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan tidak menambah wewenang maupun mengambil kewenangan instansi lain. RUU Perubahan ini hanya mengkompilasi ketentuan hukum dan asas-asas hukum yang sudah ada dan memberikan nomenklatur yang bukan hanya Nasional namun ekskalasi Internasional.

Terkait hal ini, Jaksa Agung Burhanuddin mengambil beberapa contoh, misalnya dalam Penyidikan Lanjutan. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum dengan melakukan penyidikan lanjutan bukanlah hal yang baru, melainkan telah ada dan diatur dalam Pasal 39 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Ketentuan ini selaras dengan asas dominus litis dan sejalan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penyidikan lanjutan juga akan menjadi solusi konkrit atas bolak-balik dan hilangnya berkas perkara yang menimbulkan tidak selesainya penanganan perkara sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Keadilan hukum akan terwujud dengan proses penegakan hukum yang terkontrol.

Lalu terkait pembentukan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer. Integrasi kebijakan penuntutan dalam struktur kelembagaan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer, pada hakikatnya merupakan mandat konstitusional.

Dalam Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyebutkan bahwa Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya terkait Kewenangan Penyadapan. Sebagai aparat penegak hukum dan pemegang asas dominus litis, Kejaksaan memiliki banyak ruang hukum untuk dapat melakukan penyadapan, namun belum diisi oleh norma yang menyebutkan secara eksplisit kewenangan tersebut.

Juga tentang Jaksa Agung sebagai penyidik, penuntut umum, dan pengacara negara tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kewenangan utama Kejaksaan yang telah melekat sejak lama, dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman, yaitu Parket Generaal, Advocaat Generaal, dan Solicitor General.

Makna Parket Generaal adalah Jaksa Agung sebagai Penyidik, Penuntut Umum, dan Eksekutor tertinggi. Dalam terminologi Belanda maupun negara Common Law, penuntutan dimulai dari penyidikan hingga eksekusi.

Makna Advocaat Generaal dalam Sistem Hukum Belanda adalah memberikan konklusi, yaitu opini yang dibuat oleh Advocaat General pada Hoge Raad dalam setiap permohonan kasasi. Konsep ini sudah terdapat dalam Undang-Undang Mahkamah Agung.

Makna Jaksa Agung sebagai Solicitor General adalah Jaksa Agung memiliki kewenangan selaku Jaksa Pengacara Negara Tertinggi.

Keempat, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan akan lebih menciptakan check and balace dalam sistem peradilan pidana.

Perlu dipahami bersama jika penyidik dan penuntut umum adalah satu kesatuan nafas dalam proses penuntutan yang tidak dapat dipisahkan.

Penyidikan dan Penuntutan bukanlah suatu proses check and balace. Hal ini dikarenakan segala hasil pekerjaan dari Penyidik, baik-buruknya, benar-salahnya, bahkan jujur-bohongnya pekerjaan Penyidik dalam melakukan proses penyidikan, seluruhnya akan menjadi tanggung jawab penuh dari Jaksa Penuntut Umum di persidangan untuk mempertahankan segala jenis pekerjaan Penyidik.

Bercermin dari sistem hukum di dunia yaitu civil law system di Belanda dan common law system di Amerika Serikat, ruang lingkup penuntutan sudah dimulai dari tahapan pengumpulan alat-alat bukti, atau yang biasa disebut dengan penyidikan. Check and balace sejatinya berada di pengadilan yang merupakan ujung dari penyelesain perkara pidana dalam menguji kebenaran atas fakta-fakta hukum yang diajukan.

“Hasil pekerjaan Penyidik dan Penuntut Umum adalah satu kesatuan sebagai Premis Tesis yang akan di check and balace kan dengan bantahan dari Penasihat Hukum sebagai Premis Antitesis, kemudian Hakim lah yang akan memeriksa dan mengadilinya sebagai Sintesis,” kata Burhanuddin.

Dalam kesempatan itu Jaksa Agung Burhanuddin juga menyampaikan bahwa revisi RUU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI adalah inisiatif dan usulan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR).

Sangat tidak tepat kalau ada beberapa kalangan yang masih menyebutkan jika RUU ini adalah inisiatif dari Kejaksaan.


“Kejaksaan adalah bagian dari Lembaga Eksekutif tentunya apabila hendak mengusulkan suatu undang-undang, maka jalur pengusulannya haruslah melewati Pemerintah,” terang Burhanuddin.

Oleh karenanya, tambah Jaksa Agung, dengan adanya revisi RUU Kejaksaan yang telah diusulkan oleh DPR ini, dapat dimaknai jika Lembaga Legislatif memandang perlu segera adanya perbaikan kualitas sistem hukum yang lebih baik di Indonesia, yang lebih modern dan lebih dapat mewujudkan rasa keadilan masyarakat.

“Kejaksaan mendukung inisiatif dan usulan tersebut dan berharap RUU Perubahan ini akan dapat mengembalikan dan menyelaraskan segenap norma hukum terkait Kejaksaan yang tersebar di berbagai macam ketentuan, sesuai dengan sistematika hukum dan asas-asas hukum yang berlaku,” ujar Jaksa Agung Burhanuddin. ***

Pewarta

Syamsuri


Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *