Connect with us

NASIONAL

PWI Minta Kapolri Usut Kekerasan Terhadap Jurnalis : Ini Pelanggaran Berat

Published

on

KopiPagi JAKARTA : Aksi demo penolakan UU Omnibus Law atau Cipta Kerja yang dilakukan para buruh, mahasiswa dan disertai para pelajar berakhir ricuh dan rusuh. Unjuk rasa (Unras) yang terjadi hampir di semua provinsi tak terelakkan dengan aksi anarkis, khususnya di Ibukota. Imbasnya para jurnalis ikut jadi korban kekerasan oknum aparat di lapangan.

Pemerintah akan memproses hokum bagi pelaku  dan actor demo anarkis yang menolak uu Cipta Kerja atau Omnibus Law. Foto : ijn
 

Atas kejadian itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menyayangkan tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap para jurnalis yang meliput unjuk rasa penolakan Undang Undang Cipta Kerja. Padahal, wartawan dalam menjalankan tugas dan peranan profesinya dilindungi oleh Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Ketua Umum PWI Pusat Atal S. Depari mengatakan, UU Pers berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara Indonesia, bukan hanya untuk pers itu sendiri. Dengan begitu, semua pihak, termasuk petugas kepolisian juga harus menghormati ketentuan-ketentuan dalam UU Pers.

“Pers bekerja berpedoman pada kode etik jurnalistik, baik kode etik jurnalistik masing-masing organisasi maupun kode etik jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers. Di mana, pers bekerja menurut peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers,” jelas Atal Depari dalam siaran pers PWI Pusat, Jumat (09/10/2020).

Karenanya, pihak manapun yang menghambat dan menghalang-halangi fungsi dan kerja pers dianggap sebagai perbuatan kriminal dan diancam hukuman pidana dua tahun penjara.

“Dalam Peraturan Dewan Pers diatur terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya, alat-alat kerja tidak boleh dirusak, dirampas, dan kepada wartawan yang bersangkutan tidak boleh dianiaya dan apalagi sampai dibunuh,” jelas Atal S Depari.

Atal S Depari mengatakan, jika wartawan yang meliput aksi protes UU Cipta Kerja sudah menunjukkan identitas dirinya dan melakukan tugas sesuai kode etik jurnalistik maka seharusnya mereka dijamin dan dilindungi secara hukum. Maka tindakan oknum polisi yang merusak dan merampas alat kerja wartawan termasuk penganiayaan dan intimidasi ketika meliput demonstrasi anti UU Cipta Kerja merupakan suatu pelanggaran berat terhadap kemerdekaan pers.
“Perbuatan para oknum polisi itu bukan saja mengancam kelangsungan kemerdekaan pers tapi juga merupakan tindakan yang merusak sendi-sendi demokrasi. Tegasnya, ini merupakan pelanggaran sangat serius,” tegas Atal.

Untuk itu, PWI Pusat meminta Kapolri Jenderal Idham Azis mengusut tuntas dan segera melakukan langkah hukum terhadap oknum polisi yang sudah menghambat, menghalangi tugas wartawan dengan melakukan perusakan, perampasan, dan penganiayaan kepada wartawan yang meliput unjuk rasa UU Cipta Kerja.

“Termasuk memberikan sanksi kepada oknum petugas yang sengaja menghambat kemerdekaan pers secara terang-terangan tersebut,” kata Atal S Depari.

Sementara itu, Sekjen PWI Pusat Mirza Zulhadi menambahkan, kekerasan terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa UU Cipta Kerja bukan hanya terjadi di Jakarta. Berdasarkan laporan dari PWI di daerah hal yang sama juga terjadi di Medan, Lampung, Bandung, dan beberapa provinsi lain.
“Kami mengimbau pimpinan Polri memberikan pembinaan, pelatihan, dan pendidikan kepada polisi yang bertugas di lapangan bagaimana seharusnya menghadapi pers dan tidak main hakim sendiri yang merusak sendi-sendi demokrasi,” tutup Mirza.

Kadiv Humas Polri : Kadang-kadang….

Halte Transjakarta Bundaran HI terbakar saat unjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja di kawasan Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Kamis, 8 Oktober 2020. ANTARA FOTO

Kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan oknum polisi atau aparat lainnya di lapangan bukanlah berita baru dan tidak hanya terjadi kali ini saja. Beberapa kali ketika terjadi gelombang demo besar dan berakhir anarkis, lagi-lagi ada jurnalis yang jadi korban anarkis. Wartawan acapkali jadi korban kekerasan baik itu pendemo maupun oknum aparat di lapangan.

Nah, untuk itu lagi-lagi pula pihak Polri angkat bicara mengenai dugaan kekerasan terhadap jurnalis saat terjadi gelombang demo yang diwarnai anarkis. Terulang dan berulang wartawan menjadi korban kekerasan di tengah demonstran.

“Pada hakikatnya emang harus jujur mengakui bahwa kita melindungi wartawan. Kadang-kadang kalau situasi chaos, anarkis, kadang-kadang anggota juga melindungi dirinya sendiri,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (09/10/2020).

Argo mengingatkan bahwa antara personel kepolisian dengan wartawan juga harus saling bekerja sama di lapangan. Dia mengatakan, apabila mendapat intimidasi, wartawan tersebut harus bisa menunjukkan identitasnya.

“Kita kerja sama, komunikasi di lapangan dan kemudian mempunyai identitas yang jelas, dilihat oleh teman-teman anggota. Sampaikan saja di sana bahwa saya seorang wartawan, saya ingin meliput,” ujar Argo.

Dikatakan Argo, wartawan seharusnya berada di belakang polisi saat meliput demo yang berujung kericuhan. Argo memastikan para wartawan akan terlindungi jika berada di belakang polisi.

“Kan nggak mungkin (wartawan) di depan anggota pada saat ada lempar-lemparan. Mereka pasti di belakang, bisa terlindungi oleh anggota itu sendiri,” sebutnya.

Mahfud MD : Tindak Tegas Pelaku & Aktor Demo Anarkis

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, pemerintah akan memproses hukum pelaku dan aktor-aktor yang menunggangi demonstrasi tolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dengan tindakan anarkis kriminil di sejumlah daerah.  

Inilah warna unjuk rasa di tanah air yang selalu diwarnai bentrok fisik dan berakhir anarkis. Memalukan memang..

“Pemerintah akan bersikap tegas dan melakukan proses hukum terhadap semua pelaku dan aktor yang menunggangi atas aksi-aksi anarkis yang sudah berbentuk tindakan kriminal,” tegas Mahfud saat konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis malam, melalui live Instagram Kemenko Polhukam.   Pemerintah, kata dia, menghormati kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi sepanjang semua itu dilakukan dengan damai menghormati hak-hak warga yang lain dan tidak mengganggu ketertiban umum.

Selain berdemonstrasi dengan tertib dan tidak melanggar hukum, kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, ketidakpuasaan atas UU Cipta Kerja bisa ditempuh dengan cara sesuai konstitusi.

“Yaitu dengan menyalurkan lewat PP, Perpers, Permen, Perkada sebagai delegasi UU. Bahkan bisa diadukan melalui mekanisme Judicial Review atau uji materi dan formal ke MK,” kata Mahfud.

Pemerintah pun menyayangkan adanya aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh massa yang menolak UU Cipta Kerja dengan merusak fasilitas umum dan melukai petugas serta menjarah.  

“Tindakan itu jelas merupakan kriminil dan tidak dapat ditolerir dan harus dihentikan,” tegasnya. Sebelum melakukan konferensi pers, Mahfud menggelar rapat bersama Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan dan Mendagri Tito Karnavian. Pernyataan dari pemerintah itu ditandatangani oleh para pejabat tersebut. Kop

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *