Connect with us

HIBURAN

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HANCE DAN DIMAS

Published

on

Catatan : Dimas Supriyanto Martosuwito.

JAKARTA | KopiPagi : Ada persamaan Bang Hance Rosihan Nurdin Kailinto dengan Dimas Supriyanto. Keduanya sama jurnalis era 1980-’90an yang akrab dengan dunia artis, sama-sama mesra dengan wajah wajah molek, dan mengorbitkan mereka.

Sama sama pula membibit bakat para artis sejak masih kecil dan remajanya, dan kelak menjadi pesohor kondang di panggung artis nasional, baik di film dan sinetron, model maupun musik. Boleh dikata mengasuh dari ‘nol’ hingga ‘jadi’.

Anggun C Sasmi dan Desy Ratnasari termasuk di antara itu. Dua duanya dibibit oleh majalah ‘Gadis’, dimana bang Hance merupakan jurnalisnya, sejak dari sejak masih berseragam sekolah sehingga menjadi nama besar dari panggung artis Indonesia. Sederet ‘Gadis Sampul’ (cover girls) yang menjadi pesohor juga merupakan bagian dari sentuhan Bang Hance.

Dimas Supriyanto demikian juga. Namun karena menulis tentang diri sendiri, dia enggan menyebut nama beken yang lahir dari tangannya. Biarlah orang lain yang menyebut itu.

Hance dan Dimas adalah jurnalis era 1980an yang pada masanya belum ada ponsel, belum ada internet, dan wartawan masih sedikit dan terpilih, sehingga kami sama sama mendatangi rumah mereka, dekat dengan keluarganya. Hubungan tak semata mata kerja dan karir melainkan pribadi. Kami sama sama kenal bapak ibunya, kakak dan adik adiknya. Menginap di rumah artis yang diorbitkan pada masa itu merupakan hal biasa.

Hal yang membedakan Hance dan Dimas adalah Hance dikenal alim, santun dan taat ibadah, teguh membedakan pekerjaan dan hubungan pribadi, dan tidak genit. Artis artis remaja itu dijaga dan diperlakukan sebagai keluarga, sehingga mereka pun nyaman dengan “Oom Hans”, yang kemudian menjadi panggilan sayangnya.

Keakraban Mas Dimas bersama artis. Ist.

Sedangkan Dimas Supriyanto sebaliknya. Semrawut. Gambaran rinci, silakan terjemahkan sendiri.

Bukti betapa alimnya Bang Hance terceritakan oleh Raffles Lesmana, yang juga wartawan peliput musik ibukota pada masanya.

“Kalau bukan karena Hance, saya gak pernah merasai ‘slowdance’ sama Paramitha Rusady, ” kata Raffles, jurnalis ganteng dan jangkung berdarah Minang, mengenangkan almarhum. Dalam perjalanan keliling Eropa dengan artis peraih penghargaan BASF Award di awal 1990an, ada malam keakraban. Mereka dijamu dengan musik lokal romantis, menjadi moment asyik untuk ‘slowdance’. Dansa sembari pelukan mesra ala bule.

Pada awalnya, Paramitha Rusady mengajak Bang Hance. Tapi yang diajak menolak. Lalu Hance menunjuk Raffles yang duduk di sampingnya. Tentu saja yang ditunjuk mau dan girang. Dan itu tak berlangsung sekali melainkan beberapa kali, bergantung lagu yang dimainkan home band. “Dua malem berturut turut ‘slowdance’ sama Mitha, ” akuinya.

Di tahun 1990an, Paramitha Rusady sedang cantik cantiknya, bahkan belum kenal Onky Alexander, yang kemudian menjadi pacarnya.

PADA masa kejayaan media cetak, belum marak teve swasta, infotainment dan online, artis baru sangat bergantung pada media cetak dan jurnalisnya. Mereka ikut menentukan nasib artis, sehingga jurnalis sering memanfaatkan keakraban itu untuk maksud dan keperluan lain.

Memang, jamak terjadi peningkatan hubungan lebih dari sekadar jurnalis dan artis. Bahkan ada yang ke pelaminan juga, jadi suami isteri. Gunawan Wibisono sempat menikah dengan Grace Simon. Mayong Suryolaksono menikahi Nurul Arifin, merupakan beberapa contohnya.

Sekadar nginap semalam dua malam atau check in jam jaman, sehabis dugem bareng dan khilaf . Atau sekamar selama suting dan perfom di luar kota, jamak terjadi.

Sebagian wartawan bidang hiburan dan dunia artis juga punya kemampuan sebagai promotor dan produser, selain ‘talent scouter’ (pemandu bakat) sehingga bertindak semata mata peliput dan wawancara, melainkan jadi agency, bahkan menjadi produsernya.

Denny Sabri, misalnya, dikenal sebagai legenda wartawan (majalah musik Aktuil), yang juga pengorbit Nicky Astria, Nike Ardila, Nafa Urbach, Lady Avisha, Nike Astarina, dan deretan nama populer lain di musik.

Saya ingat, Bang Deny Sabry memperkenalkan ke saya Nike Ardila, di usia 14 tahun, masih banyak menunduk, dan konon di belakang panggung gampang nangis. Karena masih takut ketemu orang banyak. Pokoknya masih pemula.

Hance dan Dimas sama sama mengenal Anggun Cipta Sasmi sedari masih pakai baju sekolah di rumah petak di kawasan Pramuka, Jakarta Pusat. Bersahabat dengan bapaknya, Darto Singo yang penulis dan pelatih vokal, dan anggota Bengkel Teater. Juga ibunya yang bertindak sebagai manager merangkap asisten pribadi. Kepada Hance maupun Dimas, Anggun sama sama memanggil “Oom”

PADA akhirnya, setelah nama artis artis yang diorbitkan menjulang, kami terpisahkan oleh waktu dan kesibukan masing masing. Sebagian dari mereka mengingat kembali, sebagiannya melupakan. Dalam perjalanan karir, memang sebagian melesat, dan sebagiannya tenggelam dan menghilang. Terlupakan.

Dimas lama terpisah dari Cut Keke, dan saat ketemu lagi nyaris tak saling mengenali. “Keke ingat gak, wartawan yang wawancara di kamarmu? ” Dimas berbisik sembari menggamit pinggangnya saat foto bareng dalam acara resepsi pernikahan produser.

Cut Keke menoleh dan memekik. “Ya, ampun, Mas kemana aja! Masih ingat lah!” pekiknya.

Tidak semua yang terpilih menjadi ‘Gadis Sampul’ otomatis bisa jadi selebritis beken. Bagaimana pun ajang pemilihan ‘cover girls’ hanya sejenis ‘camp’ pelatihan. Dunia artis di luarnya punya aturan main yang lain lagi.

Dimas beberapa kali membawa bakat baru dan mereka yang masih belum terkenal ke kantor produser, mempertemukan langsung dengan Raam Punjabi (Multi Vision), Chand Parwez Servia (Star Vision) dan produser lainnya, ke lokasi suting bahkan ke depan kamera, mengenalkan langsung pada sutradara dan asistennya, menitipkan pada unit sehingga keselamatnya terjaga, tidak dibully oleh sesama artis maupun kru. Pendeknya memandu dari setiap tahapan. Menjemput dan mengantar kembali ke rumah atau kamar kostnya.

Meski demikian, tidak semua bisa jadi dan bertahan. Banyak yang berguguran bahkan sebelum dikenal penonton. Dikenal publik. Dengan banyak alasan.

“Lakinya gak kasi, Mas. Pokoknya apa yang dia minta dipenuhi, kebutuhannya dijamin, dikasi mobil, kemana mana diantar, tapi gak boleh suting lagi, ” kata Mamahnya. Atau Oomnya. Dan anaknya mau.

Film, sinetron dan musik memang mudah mengubah nasib orang. Mereka yang tinggal di gang bisa ‘melompat’ ke apartemen atau rumah yang ada Satpamnya.

Mengenangkan Desy Ratnasari, Dimas mengenangkan Gang Pelita di Sukabumi. “Saya tidak bisa melupakan Desy Ratnasari, ” kata Ahmad Yusuf, sutradara sinetron “Abad 21” dari PT Multi Vision Plus. “Rumahnya masuk gang berliku liku, dan saya jatuh terpelanting di sana. Waktu itu habis hujan dan licin banget, ” kata Bang Ucup, panggilan akrab sutradara kondang di masa Indoensia ‘booming’ sinetron itu.

Cerita Gang Pelita yang licin, berliku dan sempit juga diakui oleh Bang Hance dengan senyum senyum. Berkali kali dia kesana. Entah karena dia tak pernah jatuh atau alasan lain. Dia terkesan menutupi, tapi ketika dikonfirmasi membenarkan. ***

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *