Connect with us

BIVEST

Mental Kolonialis Asing di Tengah Melaratnya Petani Bawang Merah Brebes

Published

on

BREBES | KopiPagi : Dalam beberapa pekan terkahir Sekretaris Jenderal HKTI Mayjen TNI (Purn) Bambang Budi Waluyo, S.Sos, M.Si mengamati polemik komoditas Bawang Merah di beberapa wilayah, khususnya di Kabupaten Brebes Jawa Tengah.

Dari hasil pengamatan tersebut Sekjen HKTI menemukan kendala yang sangat fundamental yaitu persoalan pasca panen yang dihadapi petani Bawang Merah setempat. Harga jual Bawang Merah “terjun bebas” hingga mencapai Rp 8000 per kilo.

Polemik tersebut sangat membebani petani bawang sehingga dari modal awal yang dikeluarkan tidak sesuai dengan pendapatan dari hasil penjualan pasca panen. Bertentangan sekali dari prinsif Equilibrium.

Berdasarkan hasil penelusuran langsung oleh TIM HKTI kepada pelaku tani Bawang Merah dengan metode wawancara dan ekplorasi langsung ke lapangan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan tengkulak-lah yang menjadi penyebab merosotnya harga bawang di beberapa wilayah, khususnya di Kabupaten Brebes Jawa Tengah.

Tengkulak mematok harga murah Rp 8000 per kilo-nya kepada petani bawang untuk dibeli. Sehingga tidak ada pilihan lain, mau tidak mau petani harus menjual hasil panen mereka dengan harga yang sangat murah ketimbang hasil panen menjadi tidak terserap dan bawang menjadi busuk akibat dibiarkan terlalu lama.

Bagaimana petani tidak menjerit, untuk kembali modal saja petani harus menjual per kilonya Rp 12.000 hingga Rp 15.000. Padahal harga dipasar Rp 20.000 hingga Rp 25.000, bahkan harga di mall mencapai Rp 30.000.

Dari investigasi TIM HKTI juga menemukan bahwa beberapa pemilik lahan pertanian komuditas Bawang Merah di Brebes dimiliki oleh pemodal besar yang berasal dari Jakarta. Mereka sudah memiliki konektifitas dengan beberapa pusat pasar induk di Jakarta dan sekitarnya. Pemilik modal tersebut menanam bawang di lahannya dengan menggunakan buruh kerja dari masyarakat lokal setempat.

Berawal dari kepemilikan lahan itulah yang berimplikasi kepada penekanan harga yang sangat murah. Dari hasil wawancara kepada seorang petani Bawang Merah, Arifin menyebutkan, “Orang Jakarta punya beberapa lahan disini yang saya ketahui. Dia menjadi pemodal dan petani lokal menjadi buruh tani. Ketika panen dia membawa bawangya untuk dipasarkan ke Jakarta dan sekitarnya serta mereka juga mematok harga yang sangat murah. Sehingga, petani lokal lainnya tidak mampu bersaing harga. Petani lainnya terpaksa harus mengikuti harga dari si pemilik lahan itu”.

Persoalan seperti ini tidak ada bedanya dengan era Kolonial Belanda, bermentalkan penjajah, dimana rakyat mejadi buruh asing di Negeri Sendiri,. Dan yang membedakan hanya pelakunya saja. Kalau dahulu dijajah oleh Negeri Asing, sedangkan sekarang dijajah oleh pribumi kapitalis dari Negeri sendiri. Dijajah bangsanya sendiri.

Melihat penderitaan yang dialami khususnya petani Bawang Merah di Brebes, Sekretaris Jenderal HKTI mengambil langkah konkrit bahwa keberadaan HKTI yang notabene-nya sebagai “Bridging Institusion” mengambil sikap untuk menjadi salah satu Institusi yang menyerap hasil panen petani Bawang Merah dengan membeli hasil panen petani dengan harga yang lebih manusiawi. Para petani harus untung dan bisa dapat merasakan hasil jerih payah keringat mereka ketika pasca panen. Selain itu, petani dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk keluarga serta bisa menyekolahkan anak-anaknya sebagai generasi penerus, khususnya di wilayahnya dan di Indonesia pada umumnya.

Tidak dipungkiri Sekjen HKTI belum sepenuhnya mampu menyerap hasil panen Bawang Merah dengan jumlah yang relatif banyak karena keterbatasan modal. Namun apa yang telah dilakukan menjadi langkah awal karena terketuk hati nuraninya mendengar dan melihat kesulitan para petani. Tidak hanya di Brebes, di daerah lainya pun juga terjadi hal yang serupa. Para petani dirugikan oleh para tengkulak dan pemodal besar yang menguasai lahan pertanian. Diharapkan, ada pemodal yang terketuk hatinya untuk ikut serta membantu petani agar kesejahtraanya semakin meningkat, minimal modal bertani dapat kembali.

Perlu dipahami bahwa HKTI merupakan Ormas mandiri/ independen yang berjiwa sosial tidak memiliki anggaran. HKTI sebagai Bridging Institution yaitu jembatan penghubung penyalur aspirasi para petani dan pertanian kepada kementerian/lembaga Pemerintah terkait agar kesulitanya dapat dicarikan solusi jalan/bantuan dari pemerintah.

Sudah seharusnya problematika pertani perlu dukungan melalui pengawasan dan pengecekan langsung di lapangan oleh Pemerintah. Syukur-syukur hasil panen-nya dibeli sesuai harga pasar agar petani tidak merugi. *Roz/Kop.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *