Connect with us

RAGAM

Sekapur Sirih Memperingati Hari Bhakti Adhyaksa  ke 62 tahun 2022

Published

on

Penegakan Hukum Berkeadilan & Humanis Menuju PEN untuk Indonesia Maju

JAKARTA | KopiPagi : Korps Kejaksaan di seluruh Indonesia sebentar lagi, tepatnya tanggal 22 Juli 2022, akan memperingati Hari Bakti Adhyaksa (HBA) ke 62 tahun 2022. Sebagaimana biasanya, setiapkali memperingati HBA selalu ada perenungan, instrospeksi dan tinjauan ke depan sebagai “motor penggerak“ untuk melangkah lebih baik kedepannya.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ada fenomena menarik pada peringatan HBA ke 62 tahun 2022, yakni munculnya terobosan Jaksa Agung Burhanuddin dalam upaya melaksanakan penegakan hukum yang berkeadilan dan humanis dalam rangka pemulihan ekonomi nasional menuju Indonesia maju.

Fenomena itu adalah diterapkannya asas Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ), yakni sebuah penyelesaian penuntutan secara damai antara pihak tersangka, korban disaksikan tokoh masyarakat yang diinisiasi Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Munculnya penerapan RJ ini berawal dari disertasi Jaksa Agung Burhanuddin ketika meraih gelar Profesor Ilmu Hukum Pidana di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, pada September tahun 2021 lalu.

Saat itu, Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Kehadiran Peraturan Kejaksaan ini diharapkan dapat lebih menggugah hati nurani para jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) pidana dalam melihat realitas hukum jika masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum.

Kejaksaan akan menghadirkan keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi hati nurani.

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan   masyarakat/pihak   lain   yang   terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

RJ hanya dilakukan dengan memperhatikan adanya kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang harus dilindungi, penghindaran stigma negatif dan pembalasan, serta dalam rangka menjaga keharmonisan masyarakat, berdasarkan nilai-nilai kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum, yang dalam hukum adat (landsrecht/adatrecht) dilakukan dalam rangka untuk menjaga keseimbangan kosmis.

Namun demikian, tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, ada beberapa pertimbangan yang menentukan dapat tidaknya suatu perkara dihentikan berdasarkan RJ, yaitu : subyek, obyek, katagori dan ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya/dilakukannya tindak pidana,  tingkat ketercelaan atau kerugian atau akibat yang  ditimbulkan dari tindak pidana, cost and benefit apabila perkara dilakukan penuntutan serta adanya pemulihan kembali pada keadaan semula dan perdamaian antara korban dengan tersangka.

Dalam penghentian penuntutan berdasarkan RJ, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan.

Model penyelesaian perkara diluar persidangan tersebut merupakan tugas dan tanggung jaksa sebagai dominus litis yang perlu dikembangkan dan diberdayakan secara masif.

Dengan demikian, hukum berdasarkan hati nurani adalah sebuah kebijakan penegakan hukum yang berdasarkan keadilan restoratif.

Bak gayung bersambut, ketentuaan RJ ini pun mendapat respon positif dari kantor kejaksaan negeri (Kejari) yang tersebar di seantero pelosok tanah air.

Misalnya, di Kejari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), ada kurang lebih 5 perkara dihentikan penuntutannya berdasarkan penerapan RJ, di Kejari Aceh Besar 3 perkara dihentikannya penuntutannya berdasarkan RJ, di Kejati Banten mencapai 10 perkara, dan masih banayak lagi yang lainnya.

Adanya kebijakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) tersebut mendapat respon yang sangat positif dari para pihak/tokoh masyarakat di kabupaten Aceh Besar.

“Prinsip keadilan restoratif pada hakekatnya sangat sejalan dengan penegakkan hukum adat yang bertujuan mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu akibat adanya sengketa atau kejahatan di masyarakat, sehingga perlu diberdayakan dan diterapkan dalam penyelesaian perkara-perkara yang ringan sifatnya,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Aceh Besar, Basril G.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejasaan Agung (Kejagung), Fadil Zumhana, menyebutkan, hingga saat ini sudah lebih 2000 perkara disetujui permohonan penghentiaan penuntutan perkara berdasarkan penerapan RJ.

Menurut Dia, pemberian RJ sejatinya bukan untuk menghentikan perkara, namun semangatnya adalah memulihkan keadaan saksi korban. Karena penghentian itu ranahnya tidak cukup bukti sedangkan perkara yang diajukan dalam RJ sudah memiliki cukup bukti dan P-21.

Maka, setelah disetujui pemberian restorative justice oleh Jaksa Agung melalui JAM Pidum menggunakan hak oportunitas untuk tidak melimpahkan perkara ke pengadilan.

RJ telah menjadi brand Kejaksaan, dimana kebijakan tersebut mendapatkan respon yang sangat baik dari masyarakat. Oleh karena untuk itu, para jaksa yang bertugas sebagai fasilitator harus menjaga kemurnian kebijakan tersebut dengan senantiasa tetap bersikap profesional dan akuntabel serta berikan pemahaman secara masif bagaimana suatu perkara tersebut bisa atau tidak dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, sehingga masyarakat mendapatkan pengetahuan dan pemahaman apakah perkara tersebut masuk ke dalam kualifikasi RJ atau tidak.

Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan RI (Komjak), Barita Simanjuntak, terkait dengan keadilan restorative atau RJ, salah satu benang merah adalah menghadirkan RJ yang dimaknai oleh perspektif pandangan-pandangan para pemikir teknokrat Barat bisa didaratkan dalam konteks ke-Indonesiaan dan kearifan lokal.

“Lebih sulit lagi, dalam konteks penegakan hukum, bisa didaratkan oleh Kejaksaan RI dengan baik,“ ujar Barita

Dia menyebut, kontrol dan pengendaliannya, sudah berjalan baik dan ini untuk menghindari hal-hal yang kontraproduktif terhadap tujuan dari RJ.

“Hal ini sangat dihargai dan diapresiasi karena begitu mendengar Kejaksaan Agung, satu yang muncul adalah restoratifnya, lalu humanisnya,”tuturnya.

Menurutnya, Jaksa Agung Burhanuddin adalah sosok  humanisnya Indonesia dalam rangka penegakan hukum. Rakyat kecil bisa merasakan kehadiran Negara, tetapi hukum bisa tegak.

“Ini dua arus sangat sulit dipertemukan. Hanya pemain lama, pemain kawakan, dan memiliki jam terbang tinggi yang bisa mensinergikan itu,” tandasnya. ***

Pewarta : Syamsuri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *