Connect with us

NASIONAL

Mengkudeta Demokrat, Moeldoko Contoh Buruk Pejabat Negara

Published

on

KopiPagi | JAKARTA : Sikap Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang menerima jabatan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) versi KLB di Deli Serdang memberi contoh buruk kepada masyarakat.

KLB di Deli Serdang diduga sengaja disetting untuk mengklaim Moeldoko sebagai Ketua Umum. Hal demikian mengundang reaksi publik. Sejumlah kalangan pun menilai tindakannya sangat ceroboh sehingga membuat gaduh publik.

Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Nana Jumena angkat bicara. Moeldoko sebagai pejabat negara mestinya harus menjaga marwah Presiden. Dia menilai sikap Moeldoko tidak etis oleh kerena jabatannya sebagai pejabat tinggi negara terseret dalam polemik Partai Demokrat.

“Walaupun setiap pejabat negara bebas memilih hak politiknya, tapi cara dia (Moeldoko) mengkudeta Partai Demokrat bisa mereduksi integritas Istana. Selayaknya sebagai pejabat negara harus lebih mengutamakan marwah lembaganya. Artinya, kurang baik kalau ada pejabat negara dianggap oleh publik  mengkudeta partai, terlebih yang terdengar bahwa KLB tersebut banyak cacat hukumnya,” tandas Nana kepada wartawan,  Selasa (09/03/2021).

Jadi, lanjut NNana, kini Presiden harus mengevaluasi dan memberi teguran kepada Moeldoko. Jangan dibiarkan begitu saja, mengingat polemik ini cukup membuat publik resah.

“Sebagai pimpinan, Presiden mesti berani menegur bawahannya. Jangan sampai publik terlanjur menilai bahwa masalah ini ada intervensi pemerintah,” ujarnya.

“Sangat dimungkinkan, jika polemik itu terus berlanjut dan nama Presiden terus terseret atas persoalan ini, saya usulkan Presiden memecat Moeldoko. Aturan main partai adalah AD/ART, sama seperti halnya negara memiliki konstitusi. Maka, sudah selayaknya Moeldoko memahami hal ini. Jadi ketika ada kumpul-kumpul yang mengatasnamakan kongres luar biasa suatu partai politik semestinya ditelaah sudah sesuai belum dengan AD/ART partai tersebut. Jangan sampai masyarakat diajari untuk melanggar konstitusi. Berpolitik itu harus santun dan beretika, sementara tindakan Moeldoko samas ekali tidak mencerminkan etika yang baik dalam berpolitik. Jika etika diibaratkan sebagai samudera, maka kapalanya adalah hukum. “Law floats in a sea of ethics,” kata Warren. (Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, 2014). Maka hukum akan tegak oleh etika, jadi etika merupakan ruh dari hukum. Apabila tindakan tidak beretika ini dibiarkan maka suatu keniscayaan hukum akan tegak. *Asr/Kop.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *