Connect with us

NASIONAL

Ketua MPR RI Bamsoet : Penguatan MPR RI, Penting untuk Antisipasi Kedaruratan Politik

Published

on

JAKARTA | KopiPagi : Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo bersama Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Akbar Faizal mengungkapkan, konstitusi bangsa Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Meskipun sudah empat kali diamandemen, masih banyak ruang kosong yang tidak tercover oleh konstitusi. Konstitusi tidak memberikan ‘pintu darurat’ manakala terjadi kedaruratan.

Misalnya, tidak ada ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui Pemilu, seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota, apabila Pemilu tidak bisa dilaksanakan karena gempa bumi megathrust, perang, kerusuhan massal, maupun karena pandemi.

“Jika Pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi, maka secara hukum tidak ada anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah maupun presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu. Menteri pun sudah berakhir masa jabatannya karena mengikuti masa jabatan presiden yang tersisa hanya Panglima TNI dan Kapolri. Dalam keadaan tersebut timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan darurat politik tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan Pemilu? Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika Pemilu tertunda?,” ujar Bamsoet dalam podcast Akbar Faizal Uncensored Spesial HUT ke-78 MPR RI, di Plaza Gedung Nusantara V MPR RI, Jakarta, Selasa (29/08/2023).

Turut hadir para pimpinan MPR RI antara lain Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah, Sjarifuddin Hasan, Hidayat Nur Wahid, dan Arsul Sani. Hadir pula Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI Agun Gunandjar Sudarsa, Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Martin Hutabarat dan Djamal Aziz, Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR RI Taufik Basari, serta Sekretaris Fraksi Partai Golkar MPR RI Ferdiansyah.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, di masa sebelum amandemen keempat konstitusi, MPR RI bisa mengeluarkan Ketetapan (TAP) yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi. Apakah kini MPR RI masih memiliki kewenangan untuk mengeluarkan TAP, itupun masih menjadi perdebatan. Namun pandangan Prof. Yusril bahwa MPR RI masih bisa mengeluarkan TAP, sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.

“Prof Yusril berpandangan, tanpa amandemen konstitusi maupun menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, MPR RI tetap bisa mengeluarkan TAP. Caranya yakni melalui Sidang Paripurna MPR RI yang memutuskan bahwa MPR RI bisa mengeluarkan TAP MPR RI. Pasal 7 UU No.12/2011 menjelaskan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, UU/Perpu, dan seterusnya. Posisi TAP MPR yang lebih tinggi dari UU secara otomatis bisa menghapuskan ketentuan Penjelasan Pasal 7 UU No.12/2011 yang membatasi masa berlakunya TAP MPR RI,” jelas Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menekankan pentingnya mengembalikan kewenangan Subjektif Superlatif MPR RI melalui Tap MPR RI, seperti halnya presiden yang memiliki kewenangan Perppu manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan memaksa. TAP MPR RI merupakan solusi dalam mengatasi berbagai persoalan negara tatkala dihadapkan pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan kahar fiskal dalam skala besar.

“Misalnya, ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR RI, kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR RI dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK. Mengingat sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara,” pungkas Bamsoet. *Kop.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *