Connect with us

NASIONAL

Waka DPD RI ; Demokrasi Harus Jadi Alat Distribusi Keadilan & Kesejahteraan

Published

on

KopiPagi | JAKARTA : Atas sikap pemerintah yang tidak menghendaki adanya revisi terhadap dua undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang mendapat tanggapan dari Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin.

Melalui keterangan resminya Selasa (16/02/2021), Senator muda tersebut menyampaikan bahwa kualitas demokrasi kita harus selalu ditingkatkan. Dan itu bisa diukur dengan tumbuhnya kepercayaan (legitimasi) dan optimisme rakyat terhadap demokrasi serta terhadap kepemimpinan yang ada.

“Waktu pelaksanaan pemilihan umum hanya bersifat tekhnis prosedural, tak ada masalah jika pemilihan umum direvisi tetap berjalan pada tahun 2022 dan 2023 secara bergulir ataupun dilaksanakan serentak pada tahun 2024. Sebab ada ada hal-hal yang lebih substansi yang mesti menjadi pekerjaan rumah kita semua, yaitu bagaimana kualitas demokrasi kita tetap dalam semangat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, ujarnya.

Dalam kesempatan ini anggota DPD RI yang terpilih dari daerah pemilihan Provinsi Bengkulu tersebut juga menyinggung tentang indeks demokrasi di Indonesia yang masih rendah. Berdasarkan riset, The Economist Intellegence Unit menyatakan skor indeks demokrasi Indonesia adalah 6,48 dalam skala 0-10. Dan bahkan kita menempati urutan indeks demokrasi peringkat 64 dari 167 negara di dunia.

“Demokrasi harus menjadi alat distribusi keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Dan realitas itu harus ditampilkan dalam kehidupan demokrasi itu sendiri. Sebab kebutuhan berdemokrasi bukan sekedar proses kapan penghitungan suara dilaksanakan, tapi bagaimana demokrasi benar-benar mewujudkan seluruh harapan masyarakat,” tambah Sultan.

Senator itu juga menilai bahwa sebenarnya permasalahan yang harus ditelisik adalah apakah masalah pemilu dilaksanakan kapanpun memiliki urgensi di mata rakyat. Atau ia beranggapan saat ini rakyat tidak peduli kapanpun akan dilaksanakan pemilu karena sebagian besar rakyat merasa bahwa demokrasi dan pemilu tidak lagi menjadi tumpuan harapan perubahan.

“Kita harus mengevaluasi secara utuh bagaimana proses perjalanan demokrasi kita. Dan kita juga harus benar-benar yakin bahwa dilaksanakan kapanpun pemilihan umum ke depan, dalam implementasinya bukan hanya perputaran siklus legalitas kekuasaan, akan tetapi tetap harus membawa agenda kemajuan bangsa Indonesia”, tuturnya.

Terakhir senator yang kritis ini menyampaikan bahwa hubungan antara masyarakat dan negara harus selalu diwujudkan, yaitu dimana masyarakat harus benar-benar merasakan kehadiran negara dalam menjamin hak-haknya di seluruh sendi kehidupan.

Menurutnya jika hubungan itu sudah terjalin, maka semua stake holder pengambil kebijakan, elit politik dan seluruh elemen masyarakat akan menjadikan pemilu bukan hanya “tontonan” dalam perebutan kue kekuasaan tapi sebagai kebutuhan bersama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  *Kop.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *