Connect with us

RAGAM

Sisi lain Unjuk Rasa Menuntut Janji Bupati Pasaman Barat (2019-2014)

Published

on

PASBAR | KopiPagi : Sisi lain unjuk rasa Senin, (27/12/2021) di halaman Kantor Bupati, seperti yang dipaparkan oleh Rio R.K Sikumbang, Sekretaris DPC SPI Pasaman Barat dan kawan-kawan kawan pada media ini. Dikatakan Rio, di sela-sela aksi ia coba mengungkap sisi lain pihaknya melakukan unjuk rasa. Hal itu menurutnya berawal dari periode pertama tahun 2014-2019, pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Masa itu, Presiden Joko Widodo memasukkan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai program prioritas dalam Nawa Cita (sembilan program prioritas), namun pada periode kedua pemerintahan 2019 – 2024, disaat reforma agraria di Indonesia tengah memasuki tantangan baru, komitmen Presiden Joko Widodo terkait reforma agraria masih ditunggu.

Meski program reforma agraria dan kedaulatan pangan kembali dilanjutkan Presiden Joko Widodo – KH. Ma’ruf Amin, sisi lain di periode kedua pemerintahannya, hal tersebut sudah masuk di dalam Visi Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong sebagai visi pembangunan Indonesia ke depannya.

Makanya, langkah-langkah untuk mempercepat implementasi reforma agraria telah diambil, yakni tertuang pada Peraturan Presiden RI (Perpres) nomor 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan dan Perpres nomor 86/2018 tentang reforma agraria.

Hanya saja, realisasi dari kedua peraturan ini belum sesuai dengan harapan. Demikian dijelaskan oleh Rio R.K Sikumbang, Sekretaris DPC SPI Pasaman Barat.

Ditambahkannya, program reforma agraria di Indonesia sendiri di sisi lain belum menunjukkan keberhasilan dalam konteks merombak ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia.

Diterangkannya lagi, secara garis besar, program reforma agraria di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan redistribusi tanah seluas 9 juta hektare melalui Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

Konon dari target TORA 9 juta hektare itu meliputi target legalisasi aset sebesar 4,5 juta hektare, atau 3,9 juta hektare sertifikasi dan 0,6 juta hektare tanah transmigrasi, dan redistribusi tanah sebesar 4,5 juta hektar, yakni 4,1 juta hektare pelepasan kawasan hutan dan 0,4 juta hektare ex-HGU, tanah terlantar dan tanah negara.

Sisi lain Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI mengklaim bahwa redistribusi tanah yang berasal dari tanah Ex-HGU, Tanah Telantar dan Tanah Negara lainnya sebanyak 1.496.243 bidang atau seluas 989.491 hektare atau 247,37 persen dari target 0,4 juta hectare. Bahkan, yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, pemerintah telah meredistribusi sebanyak 516.204 bidang atau seluas 251.076 hektare.

Menurut Rio, berarti total tanah yang telah diredistribusikan kepada masyarakat seluas 1.240.567 hektar atau 27,57 persen. Akan tetapi menurutnya, capaian itu belum merubah ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah, pelaksanaannya juga masih sangat lambat.

Berangkat dari sisi lain tersebutlah, yakni menyikapi banyaknya konflik agraria di Kabupaten Pasaman Barat serta belum jelasnya progress penyelesaian konflik agraria oleh Bupati Pasaman Barat, pihaknya menggekar unjukrasa di Kantor Bupati Pasbar.

Sebab menurutnya, Bupati yang dalam hal ini selaku ketua Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Pasaman Barat yang tertuang di dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria, juga harus ikut bertanggung jawab menjelaskan permasalahan yang ada kepada masyarakatnya.

Hingga saat ini, semua hal tersebut di atas belum terjawab juga oleh Bupati, maka dari itu Serikat Petani Indonesia (SPI), Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia (GMPI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) pada hari Senin (27/12/2021) sejak pagi hingga menjelang sore, melaksanakan unjuk rasa di kantor Bupati Pasaman Barat, untuk menuntut janji-janji  Bupati selama ini.

Lebih jauh Rio R.K Sikumbang, menjelaskan pada media ini, pihaknya melakukan unjuk rasa saat ini yakni, meminta Bupati agar memenuhi janji-janjinya, terutama dengan semakin meningkatnya konflik agraria semenjak 1990 khususnya di Pasaman Barat hingga kini yang belum juga tuntas-tuntas.

“Konflik agraria di basis SPI sebanyak 30 kasus yang melibatkan 8.002 KK dengan total luas tanah 22.437 Ha, tentu dalam hal ini diperlukan peran aktif Pemkab Pasaman Barat untuk menuntaskannya, bagaimana mempertahankan eksistensi masyarakat adat agar ikut terlibat dalam upaya penyelesaian konflik agraria ini.

Belum lagi, lanjut Rio, hampir 73.735 KK  di Pasaman Barat sebagai warga  miskin dengan total penduduk 436.298 jiwa tentu ini merupakan angka yang mengerikan.

Pihaknya berharap agar segera diterbitkan SK Bupati tentang kedaulatan pangan untuk kedaulatan Negara yang pro rakyat, juga diperlukan kebijakan dalam menyelesaikan konflik agraria ini.

Rio menambahkan, di sisi lain secara sosio ekonomi, Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) bisa menjadi jawaban dalam menyelesaikan konflik agrarian. Sebab, program TORA yang ditawarkan oleh SPI salah satu wujud upaya mensejahterakan petani. Kemudian diperlukan dukungan atas teknologi terapan guna meningkatkan added value komoditi yang dimiliki petani, secara sosio politik rakyat dan pemerintah mesti dalam satu kesatuan guna membangun kedaulatan nagari menuju kedaulatan negara.

“Penyelesaian kedaulatan pangan ini tentu diperlukan kebijakan dan programatik nyata dari bupati dalam membangun kesadaran warga kabupaten sebagai masyarakat yang berdaulat dan mandiri” tuturnya.

Sementara dari sisi lain, di lokasi yang sama, Yoggy E. Sikumbang, Presidium Nasional DPP Gema Petani menambahkan, belum adanya kebijakan agraria yang mumpuni juga berdampak pada situasi konflik agraria di Indonesia, khususnya di Pasbar.

“Pada dasarnya, belum diketahui pasti berapa banyak jumlah konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Beberapa kementerian ataupun lembaga negara juga memiliki data yang berbeda-beda,” tambahnya.

Misalnya Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia, yang menyebutkan terdapat 196 kasus konflik agraria yang ditangani sejak tahun 2018 sampai dengan April 2019 yang tersebar di 33 provinsi dengan luasan areal 2.713.369 hektar.

Walaupun, Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) KSP Republik Indonesia, yang menyebutkan setidaknya terdapat 666 kasus aduan mengenai konflik agraria yang terjadi di Indonesia.

“Kendati berbeda, kedua data tersebut secara garis besar jelas, jelas dari sisi lain masih menunjukkan bahwa besarnya jumlah konflik agraria masih menjadi momok di Indonesia” jelasnya.

Dikatakan Yogi, Surat Keputusan Kepala Staf Kepresidenan No. 1B/T tahun 2021 mengenai Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria 2021 tanggal 29 Januari 2021, yang digadang-gadang akan mampu menyelesaikan permasalahan konflik agraria di Indonesia.

“Namun perlu diketahui bersama, di sisi lain, saat ini Pasbar  merupakan kabupaten terbanyak konflik agrarianya di Provinsi Sumatera Barat, dengan dibuktikan masuknya 4 Basis SPI di Pasbar ke dalam usulan prioritas penyelesaian konflik agraria yang harus diselesaikan dalam tahun ini, ” ujarnya.

Di tempat yang sama, Pandu Putra Utama, Sekjend DPD GMNI Sumbar juga menjelaskan, pandemi telah mengajarkan keterkaitan antara sistem lingkungan dan kesehatan sistem pangan. Makanya dikatakannya, sinergi antar sistem pangan, sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah keharusan. Karena, pandemi juga menyoroti kelemahan sistem pangan di Indonesia serta pentingnya penanganan masalah ketahanan pangan yang tidak hanya berfokus pada dimensi ketersediaan pangan belakang.

Diterangkannya, sejumlah contoh kegagalan Food Estate sudah ada pada era Soeharto, yakni Program Food Estate PLG, (Kalteng 1996) dan pada era SBY, yakni Program Food Estate Bulungan, Kalimantan Timur (2011), Program Merauke Integrated Food and Energy Estate, Papua (2011), dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat (2013). Demikian juga, Rencana Food Estate terbaru yakni di Kecamatan Talamau, Pasaman Barat Sumbar akhirnya juga menyisakan pertanyaan besar.

“Apa asumsi yang melatarbelakangi keputusan Food Estate sebagai agenda ketahanan pangan dan Gizi di Pasaman Barat?” tanyanya.

Sementara menurut GMNI, di Ranah Minang ini Food Estate adalah, cara bertani yang tidak melibatkan petani itu sendiri dan tidak memikirkan nasib petani. Jika pilihan intervensi ini dinilai, dapat meningkatkan Efisiensi melalui pertanian skala besar dan meningkatkan ketersediaan pangan dalam bentuk energi atau kalori, maka ketahanan pangan dan gizi adalah penjaminan yang lebih luas daripada sekadar efisiensi dan ketersediaan pangan.

“hal tersebut sebagaimana disebut pada UU NO.18/2012 tentang pangan,” ujarnya.

Pandu menambahkan, saat ini GMNI juga mempertanyakan Proyek Strategis Nasional yang akan dibangun di Pasaman Barat.

“Kami mendapatkan informasi akan dibangun Proyek Stategis Nasional (PSN) di Kabupaten Pasaman Barat yang luasnya mencapai 30.162 Ha,” Paparnya.

Menurut pandangannya, pembangunan PSN berpotensi kuat melanggar HAM dan berdampak sosial pada masyarakat. Adapun alasannya yakni, rencana investasi seluas 30.162 Ha yang sangat bombastis, sebab luas tersebut hampir setengah Kota Padang atau 12 kali Kota Bukittinggi. Hal ini tentu akan berpotensi besar menimbulkan konflik baru di Kabupaten Pasaman Barat terkait hak atas tanah, ruang kelola rakyat dan kebudayaan masyarakat.

Apalagi sebelumnya kami mencatat konflik agraria terbesar di Provinsi Sumatera Barat berada di Kabupaten Pasaman Barat yang terjadi pada 25 titik.

“Seharusnya pemerintahan Kabupaten, Provinsi, dan Pusat mesti menyelesaikan konflik yang sudah lama ada di Pasaman Barat, bukan menambah konflik baru,” ujarnya.

Selain itu core investasi tidak masuk akal untuk lokasi. Sebab, kalau merujuk kepada Peta Master Plan PT. ABACO, kawasan yang yang direncanakan sebagai core investasi (zona 3A dan zona 3B) yaitu refinery dan petrochemical Industrial Park sebagian besar sudah berhimpitan dengan pemukiman dan kebun rakyat.

“Belum lagi informasi yang kami terima, di Pasaman Barat telah dibangun Teluk Tapang yang digunakan untuk akses transportasi komoditi perkebunan dan pertanian,” sebutnya.

Menurutnya, pelabuhan akan berdampak kepada  tidak efektifitas dan tidak efisien di kemudian hari. Meskipun berdasarkan Surat Gubernur Sumatera Barat dengan No: 070/774/ Balitbang-2021 Angka 4, menyatakan status lahan/tanah telah clean dan clear untuk digunakan.

Tapi berdasarkan pengamatannya di lapangan, hal tersebut malah sebaliknya. Sebab lahan yang digunakan merupakan lahan budidaya pertanian masyarakat Nagari Batahan yang terdiri dari 26 Jorong dan Air Bangis yang terdiri dari 15 Jorong dengan penduduk sekitar 45.000 jiwa, belum lagi lahan tersebut juga berdampingan dengan HGU Perkebunan.

Dengan semikian menurutnya, Kawasan Area Penggunaan Lain (APL) tidak beralasan untuk dijadikan kawasan industri atau kawasan dengan bentuk investasi lain. Karena tidak ada lagi hamparan lahan kosong untuk investasi skala besar.

“Lokasi APL telah dipenuhi oleh permukiman dan pertanian masyarakat,” jelas Pandu mengakhiri.

Sementara Rio R.K Sikumbang, Sekretaris DPC SPI Pasaman Barat mengatakan, meski telah hampir seharian pihaknya yang terdiri dari SPI, GMPI dan GMNI pada hari Senin, (27/12/2021) ini melaksanakan unjuk rasa di kantor Bupati Pasaman Barat, untuk menuntut janji-janji Bupati selama ini, serta telah menyampaikan beberapa pernyataan di atas namun, Bupati tak berani menemu mereka.

Padahal menurut Rio, sebelumnya gema petani sudah mengirim surat audiensi, tapi semua itu tidak di gubris oleh Bupati Pasaman Barat, H. Hamsuardi.

“Hingga kami beranjak dari halaman kantor Bupati, namun Bupati tak berani menemui kami, walau hanya sekedar dan sebentar untuk memberikan keterangan terkait hal di atas, agar kami puas, sayang Bupati tak punya nyali untuk itu, ” tutupnya. ***

Pewarta : Zoelnasti.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *