Connect with us

LIFE

Pakar OTDA: Pj Kepala Daerah dari Birokrat tak Kalah Bagus dari pada Politisi

Published

on

KopiPagi JAKARTA : Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA., menjelaskan, dalam praktik empirik, apabila habis masa jabatan seorang kepala daerah, baik keadaan normal maupun keadaan darurat, sudah ada pakem yang mengaturnya. Dikatakannya, jika habis masa jabatannya, akan diangkat penjabat (pj) kepala daerah hingga kepala daerah yang baru terpilih dan dilantik.

“Dari mana mereka? Dari birokrasi, dari ASN yang berasal dari lingkungan pemda provinsi untuk jabatan kepala daerah kabupaten kota dan dari jabatan eselon I di Kemendagri atau kementerian terkait untuk jabatan pj gubernur. Contohnya saya pernah menjadi pj gubernur Riau dari 2013-2014,” ujar Djohermansyah Djohan di Jakarta, Senin malam (21/09/2020).

Bahkan, lanjut Djohermansyah Djohan, banyak orang mengatakan, pj tidak kalah bagus daripada kepala daerah partai ataupun independen.

“Karena dia profesional tidak punya kepentingan. Hanya merah putih, tegak lurus ke atas untuk kesejahteraan masyarakat,” urai Guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang biasa disapa Prof Djo ini.

Jadi, jelas dia, tidak ada alasan hukumnya bahwa pj. di masa krisis ini tidak boleh. Karena pakemnya kita sudah punya undang-undang dan tidak ada cerita darurat. Menurut undang-undang yang mengatur tentang Pemda atau Otonomi Daerah, dia bisa dalam keadaan normal dan dia juga bisa dalam keadaan tidak normal.

Lebih jauh Prof Djo mengatakan, terkait kualitas dan profesionalitas, pada praktiknya, selama ini banyak dari mereka yang lebih bagus daripada kepala daerah yang dari partai atau perseorangan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok dan dirinya sendiri.

“Rakyat malah lebih suka dengan pj yang dari ASN. Maka, saya agak heran dengan pernyataan itu tidak berdasarkan pada praktek empirik otonomi daerah di Indonesia. A historis itu,” kata Prof Djo.

Prof Djo menegaskan, belum ada yang mengatur di undang-undang sekarang kalau dalam keadaan darurat tidak boleh dari ASN atau pj tapi harus dari orang partai. “Tidak ada aturan itu. Jangan mengarang,” tegasnya.

Kalau soal legitimasi karena dia diangkat bukan dipilih, kan dia memimpin hanya sementara. Dalam praktik empirik, bahkan presiden saja kita dulu punya acting atau Pj. Presiden pada masa pemerintahan darurat (PDRI).

“Itu kan dalam keadaan sementara legitimasi memang tidak setinggi mereka yang dipilih langsung oleh rakyat. Tapi dari segi profesionalitas saya kira sama bahkan bisa lebih baik,” terang Presiden i-Otda (Institut Otonomi Daerah) ini.

Terkait ketidakpastian pemerintah tidak boleh vakum of power, Prof Djo menjelaskan, dia akan menjalankan pemerintahan dan kewenangan pun by law dalam undang-undang kita seorang pj sama persis dengan kewenangan seorang kepala daerah definitif.

Bahkan katanya, dia boleh menetapkan perda, boleh menetapkan APBD, mutasi pegawai, seorang pj diatur dalam uu pemda, kemendagri. Roda pembangunan akan berjalan dan dia bisa juga mengurus wabah Covid-19.

“Jadi tidak perlu ada kekhawatiran kalau penanggulangan Covid-19 dipegang oleh pj atau plt langsung tidak terurus. Mereka ini kan birokrat yang sudah puluhan tahun, bisa 20-30 tahun. Ketimbang kepala daerah dari politisi yang pengalamannya rendah kemudian dia memimpin pemda. Bahkan orang-orang pemda banyak yang bingung karena pemerintahannya tidak pakem. Jadi tidak perlu ada keraguan soal legitimasi itu,” kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010-2014 ini.

Menurutnya, dalam keadaan darurat yang diperlukan adalah kemampuan profesionalitas dalam menanggulangi Covid-19. Jadi tetap ada seleksi kontrol dari presiden sebagai kepala pemerintahan. Jadi untuk gubernur, kepala daerah provinsi maka calon gubernurnya diusulkan oleh mendagri tiga nama dari pns kepada presiden. Belaiu lalu memilih orang yang terbaik. Seleksi dilakukan oleh presiden. Untuk bupati dan walikota yang memilih Mendagri berdasarkan tiga nama yang diusulkan gubernur. Orang-orang yang terbaik dari provinsi itulah yang diusulkan oleh gubernur.

“Dalam praktek kita ber pj sudah puluhan tahun sejauh ini tidak ada persoalan dengan soal legitimasi. Dia mestinya tahu kalau ini jabatan sementara. Kalau misalnya pilkada serentak ditunda ke 2021, maka waktu pj menjabat tidak lama. Rata-rata kepalah daerah habis masa jabatannya bulan Maret 2021. Artinya, kepala daerah pj memimpin sekitar tiga atau empat bulan saja.

Kalau PNS, kata Prof Djo, dengan seleksi oleh pejabat seperti presiden atau mendagri akan terpilih orang-orang cakap yang mampu memimpin daerah. Dari jumlah 270 daerah yang menggelar pilkada, ada 9 provinsi, 37 kota, sisanya 224 kabupaten. Untuk kota dan kabupaten itu yang mengusulkan gubernur masing-masing.

“Jadi gubernur itu saya yakin banyak sekali calonnya karena SKPD provinsi yang punya eselon dua itu sekitar 20-30an. Bahkan ada yang 40an orang. Jadi, misalnya kalau diambil pejabat tiga hingga tujuh orang atau bahkan 11 itu tidak kekurangan orang. Bisa tetap menjalankan pj sambil dirangkap dengan jabatan birokrasi sebelumnya. Kalau tingkat provinsi ada 9. Itu juga tidak habis masa jabatannya sekaligus. Ada yang habis bulan Maret, April dan Juni bahkan ada yang September 2021. Itu bisa diambil dari Kemendagri. Kalau stoknya kurang bisa diambil pula dari kementerian-kementerian terkait dengan urusan kepemerintahan dalam negeri. Misalnya kantor Menkopolkam,” jelas penulis buku biografinya ‘Koki Otonomi’: Kisah Anak Sekolah Pamong’ ini.

Prof Djo mengungkapkan, sudah ada bukti empirik tahun 2015, ada 269 pemilihan kepala daerah yang digelar. Menurut Prof Djo, hal itu sudah pernah dan ternyata berjalan baik karena tidak pernah ada keluhan soal para pj dalam menjalankan kepemerintahan.

“Mari kita lihat soal kemampuan profesionalnya langsung mereka bisa menangani keadaan emergency. Mungkin, mereka bisa lebih cakap karena sudah jadi birokrat puluhan tahun. Menangani tugas pemerintahan, boleh dibilang sudah tutup mata,” imbuh penerima penghargaan Sarjana Adhi Praja Nugraha dari Menteri Dalam Negeri (1984).

Dalam konteks perkembangan baru kalau misalnya, orang politik mengatakan kami keberatan kalau ada pj. Ada alternatif lain tapi perlu diatur lewat undang-undang, yaitu dengan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang sedang menjabat. Prof Djo menyarankan, asal undang-undangnya dirubah karena dalam undang-undang sekarang yang menjabat pj harus dari ASN yang memenuhi syarat.

Kalau sekarang, katanya, misalnya ada pikiran baru menangani Covid-19, kita tidak percaya ada alternatif lain. Menurutnya, bisa diperpanjang masa jabatan kepala daerah yang saat ini tengah menjabat. Dengan demikian dia tetap berlanjut serta memiliki legitimasi kuat. Dia memimpin sampai terpilih dan dilantiknya kepala daerah yang baru.

“Kalau itu yang dipilih, alas hukumnya bisa pakai Perpu. Karena ada fenomena baru yang menganggap pj dari ASN tidak legitimate. Ketika saya menjabat pj gubernur Riau 2013-2014 tidak ada yang menyoal soal legitimasi saya. Bahkan saya sambil merangkap dirjen Otda menjadi Pj Gubernur Riau. Saya bolak-balik mengurus Riau mengurus Dirjen Otda, Kok sekarang dipersoalkan? Ada motif apa?”, tandas Prof Djo. ***

Editor : mastete

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *