Connect with us

LIFE

Dr Arief Budiman Meninggal Dunia, UKSW dan Salatiga Sangat Kehilangan

Published

on

KopiOnline SALATIGA,– Masyarakat Kota Salatiga kehilangan salah satu tokoh politik, intelektual, maupun seorang penulis yang juga sosiolog. Dialah Dr Arief Budiman (79). Arief Budiman meninggal dunia di RS Ken Saras Ungaran, Kab Semarang pada Kamis (23/04/2020) kemarin.

Arief Budiman yang bernama Tionghoa Soe Hok Djin ini, beberapa waktu menderita sakit parkinson. Beliau merupakan kakak kandung dari seorang aktifis Soe Hok Gie. Hingga Sabtu (26/04/2020) ini, di rumahnya di Kemiri, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga masih dipenuhi karangan bunga ucapan duka cita dari berbagai pejabat, tokoh politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan dan aktifis di Indonesia ini. Almarhum Arief Budiman di makamkan di Pemakaman Bancaan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.

ARIEF BUDIMAN

Arief Budiman yang lulusan PhD Bidang Sosiologi dari Universitas Harvard, sempat menjadi staf pengajar (dosen) di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Saat menjadi dosen ini, selalu aktif melakukan kajian sosial serta kebudayaan. Bahkan, sosok Arief Budiman banyak diidolakan oleh para aktifis mahasiswa di Salatiga maupun Jawa Tengah bahkan secara nasional Indonesia.

Saat di UKSW, Arief Budiman ini juga menjadi tokoh gerakan mahasiswa dan rakyat dalam memprotes atau menolak adanya Waduk Kedungombo di Jawa Tengah. Kemudian, tahun 1994 saat terjadi pemilihan Rektor UKSW Arief Budiman kembvali menjadi tokoh dalam memprotes penunjukan Rektor UKSW.

Arief menilai bahwa pemilihan rektor itu adalah cacat hukum. Buntutnya, Dr Arief Budiman menerima sanksi dari UKSW yaitu dilarang mengajar. Kemudian, pindah ke Australia dan menjadi pengajar di Universitas Melbourne pada 1997. Begitu pensiun, Dr Arief kembali ke Indonesia dan tinggal di rumahnya yang tergolong unik di Kota Salatiga, di Kemiri Candi, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Almarhum Arief meninggalkan seorang istri Leila C Budiman dan dua orang anak serta beberapa cucu.

Sementara itu, Rektor UKSW Neil Semuel Rupidara SE MSc PhD menyatakan, bahwa UKSW Salatiga sangat kehilangan seorang tokoh intelektual. Bahkan, Arief Budiman ini dinilainya sebagai bagian penting dari sejarah UKSW. Hingga saat ini, peninggalannya adalah Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan. Tahun 1980-an, program tersebut hanya UKSW Salatiga yang punya.

“Yang jelas, UKSW sangat kehilangan seorang tokoh besar yaitu Pak Arief Budiman, Meski hubungannya dengan UKSW sempat memburuk pada tahun 1994, namun sejak tahun 2016, hubungan itu mencair. Antara Pak Arief Budiman dan UKSW akhirnya hubungannya kembali baik. Pak Arief Budiman ini adalah seorang yang mempunya prinsip kuat, orangnya lurus dan jujur. Sekali lagi, UKSW sangat kehilangan….Selamat Jalan Pak Arief Budiman,” kata Neil Semuel Rupidara.

Beberapa warga Kemiri maupun secara umum Salatiga, rata-rata mengaku sangat kehilangan sosok yang kritis yaitu Arief Budiman. Dia adalah pembela rakyat kecil di Salatiga, Jawa Tengah dan Indonesia. Meski seorang Doktor bahkan Profesor, namun sama sekali tidak pernah menunjukkan “orang yang pinter”. Bahkan, dalam kesehariannya penampilannya sangat sederhana.

“Saya masih ingat saat menjadi Dosen di UKSW, dosen yang lain sudah naik mobil pulang balik ke kampus, namun Pak Arief Budiman tetap setiap hari naik motor Vespa. Bahkan, pakaian yang dikenakan juga sangat sederhana. Orangnya mudah bergaul dengan siapa saja, enak diajak diskusi bahkan tidak pernah menujukkan kesombongan. Yang jelas, Pak Arief Budiman itu idola rakyat kecil,” ujar Rustyantono SH MM (55) warga asli Tingkir Salatiga yang juga alumni UKSW Salatiga,  kini tinggal di Batang ketika dihubungi koranpagionline.com, Sabtu (25/04/2020) siang.

Hal senada diungkapkan, Dra Weningtyas Utami Putri MSi (53) yang juga alumni UKSW Salatiga, bahwa sosok Arief Budiman itu benar-benar sosok yang menjadi idola masyarakat kecil. Arief Budiman meski seorang doktor dan dosen UKSW, namun saat masyarakat kecil mempunyai masalah dan ingin bertemu dengannya, selalu diterima dengan terbuka. Bukan itu saja, para tukang becak maupun sais dokar di Salatiga tahun 1980-1990-an pasti tidak asing dengan sosok Arief Budiman.

“Saya masih ingat kala mengantar puluhan tukang becak dan sais dokar di Salatiga untuk bertemu dengan Pak Arief Budiman. Kami diterima dengan santai, bahkan saat itu Pak Arief tidak kelihatan kalau dia adalah seorang intelektual. Kami saat itu meminta bantuan dan dengan lugas Pak Arief menyatakan siap membantu dan bergerak bersama. Saat itu, saya masih menjadi mahasiswa UKSW semester akhir dan di rumah Pak Arief itu ngobrol hingga hampir empat jam lamanya. Saat menerima kabar pada Jumat (24/04/2020) siang menerima kabar jika Pak Arief Budiman meninggal dunia, saya sangat kaget. Selamat jalan pak Arief, nasehat dan bimbinganmu….tetap akan aku ingat selalu. Selamat jalan pak Arief,” tutur Utami, yang kini tinggal di Solo dan bekerja di bidang perbankan kepada koranpagionline.com, disela melayat di rumah Dr Arief Budiman, Sabtu (25/04/2020). Heru Santoso

 Arief Budiman Pernah Alami Stroke dan Alzheimer

Innalillahi wa innalillahi rajiun. Prof Dr. Arief Budiman, kakak kandung tokoh legendaris Soe Hok Gie, meninggal dunia. Tokoh pengkritik rezim Orde Baru yang disegani ini, mengembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Ken Saras, Salatiga, Jawa Tengah, pada Kamis, 23 April 2020 siang.

Arief Budiman sebelumnya dikenal sebagai Soe Hok Djin, adalah kakak kandung Soe Hok Gie.

“Rest in peace Mas Arief Budiman. Semoga memperoleh kedamaian disisiNya dalam Kerahiman Ilahi. Amin,” kata AB Susanto, penulis masalah kenegaraan, dikutip nusadaily.com dalam status medsosnya.

ARIEF BUDIMAN

Prof. Dr. Arief Budiman, adalah ilmuwan dan sosiolog senior Indonesia, tinggal di Salatiga. Semasa Orde Baru, Arief Budiman adalah salah satu tokoh, yang bersama sejumlah tokoh terkemuka Indonesia lainnya, menjadi kritikus rezim Soeharto.

Selama ini, Arief Budiman mengalami stroke, dan sebelumnya diduga terserang alzheimer. Kemunduran fisiologis saudara kandung aktivis 66 Soe Hok Gie itu sudah berlangsung lebih dari 10 tahun belakangan ini.

Arief Budiman pernah memperdalam ilmu di bidang pendidikan di College d’Europe, Brugge, Belgia pada tahun 1964. Ia menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 1968. Ia kuliah lagi di Paris pada tahun 1972, dan meraih Ph.D. dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1980.

Kembali dari Harvard, Arief mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga sejak 1985 sampai 1995. Ketika UKSW dilanda kemelut yang berkepanjangan karena pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Arief melakukan mogok mengajar, dipecat, dan akhirnya hengkang ke Australia, serta menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne.

Ia pernah menjadi redaktur majalah Horison (1966-1972). Sejak 1972 sampai 1922 ia menjadi anggota Dewan Penasehat majalah ini. Ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971). Sejak tahun 1968-1971 ia menjadi anggota Badan Sensor Film.

Tokoh Metode Ganzheit

Ia dianggap sebagai tokoh Metode Ganzheit sejak Diskusi Sastra 31 Oktober 1968 di Jakarta dan terlibat polemik dengan M.S Hutagalung sebagai perwakilan Aliran Rawamangun. Ia juga dianggap sebagai tokoh dalam perdebatan Sastra Kontekstual sejak Sarasehan Kesenian di Solo (Oktober 1984).

Sejak masa mahasiswa, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, karena ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.

Kendati ikut melahirkan Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap politik pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan kemudian diperparah dengan praktik-praktik korupsinya. Pada pemilu 1973, Arief dan kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih, sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.

Ia pernah ditahan karena terlibat dalam demonstrasi menentang pendirian Taman Miniatur Indonesia Indah (1972). Nus/Heru Santoso

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *