Connect with us

HUKRIM

Konsep Restoratif Justice Kejaksaan Mampu Wujudkan Keadilan Berkemanfaatan

Published

on

JAKARTA | KopiPagi : Penyelesaian perkara pidana umum secara damai tanpa proses persidangan yang lebih dikenal dengan istilah Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ), yang saat ini tengah gencar diterapkan Kejaksaan RI, mampu mewujudkan rasa keadilan yang Berkemanfaatan di masyarakat.

Demikian dikatakan Jaksa Agung Burhanuddin saat tampil sebagai keynote speaker dalam The 2nd Internation Conference On Law and Society 2022 Fakultas Hukum Universitas Jember dengan tema “Restorative Justice Theory and Practice in Multicultural Society” di Universitas Jember, Malang, Jawa Timur, Rabu (30/11/2022).

Jaksa Agung menuturkan seiring dengan berjalannya waktu dalam rangka mengakomodir pergeseran nilai hidup dan keadilan masyarakat tersebut, saat ini dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, restorative justice telah berkembang sebagai alternatif penyelesaian perkara yang menitikberatkan pada pentingnya solusi untuk memulihkan keadaan korban, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan harmoni pada masyarakat dengan tetap menuntut pertanggungjawaban pelaku.

“Keadilan restoratif menjadi solusi dimana kepentingan korban diutamakan dalam penyelesaian perkara, dalam hal ini perbaikan keadaan korban dan pemberian maaf dari korban menjadi faktor penentu penyelesaian perkara, selain itu di sisi lain tetap memperhatikan kondisi tertentu dari pelaku kejahatan sebagai bahan pertimbangan penyelesaian perkaranya,” kata Burhanuddin.

Terkait dengan hal tersebut, Jaksa Agung mengatakan penegakan hukum dengan pendekatan restorative justice yang dilakukan oleh Kejaksaan, memiliki ciri-khas yang merupakan pengembangan dari konsep restorative justice itu sendiri dengan tujuan mewadahi nilai rehabilitatif dan memperbaiki pelaku kejahatan.

“Pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan oleh Kejaksaan menyeimbangkan kepentingan pemulihan keadaan korban, dan juga memperbaiki diri pelaku yang hasilnya mampu mewujudkan keadilan, serta memperbaiki keadaan masing-masing pihak, sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak lagi ditemukan penegakan hukum yang tidak berkemanfaatan,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung mengatakan bahwa hukum yang baik idealnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Di samping harus kompeten dan adil, hukum juga harus mampu mengenali keinginan publik yang tergambar dalam hukum yang hidup di masyarakat serta berorientasi terhadap tercapainya nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Untuk itu diperlukan hukum yang responsif sebagai sebuah jawaban atas keinginan masyarakat terhadap pemberlakuan hukum yang berlandaskan hukum yang hidup di masyarakat.

Menurut Jaksa Agung, untuk menjawab berbagai problematika dan tantangan zaman serta kritik terhadap proses penegakan hukum pidana, sejumlah pakar mulai memformulasikan suatu konsep yang kita kenal dengan keadilan restoratif.

“Keadilan restoratif merupakan pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan sekadar pembalasan terhadap pelaku tindak pidana,” tuturnya.

Selanjutnya, Jaksa Agung menuturkan seiring dengan berjalannya waktu dalam rangka mengakomodir pergeseran nilai hidup dan keadilan masyarakat tersebut, saat ini dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, restorative justice telah berkembang sebagai alternatif penyelesaian perkara yang menitikberatkan pada pentingnya solusi untuk memulihkan keadaan korban, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan harmoni pada masyarakat dengan tetap menuntut pertanggungjawaban pelaku.

“Keadilan restoratif menjadi solusi dimana kepentingan korban diutamakan dalam penyelesaian perkara, dalam hal ini perbaikan keadaan korban dan pemberian maaf dari korban menjadi faktor penentu penyelesaian perkara, selain itu di sisi lain tetap memperhatikan kondisi tertentu dari pelaku kejahatan sebagai bahan pertimbangan penyelesaian perkaranya,” ujar Jaksa Agung.

Terkait dengan hal tersebut, Jaksa Agung mengatakan penegakan hukum dengan pendekatan restorative justice yang dilakukan oleh Kejaksaan, memiliki ciri-khas yang merupakan pengembangan dari konsep restorative justice itu sendiri dengan tujuan mewadahi nilai rehabilitatif dan memperbaiki pelaku kejahatan.

“Pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan oleh Kejaksaan menyeimbangkan kepentingan pemulihan keadaan korban, dan juga memperbaiki diri pelaku yang hasilnya mampu mewujudkan keadilan, serta memperbaiki keadaan masing-masing pihak, sehingga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak lagi ditemukan penegakan hukum yang tidak berkemanfaatan,” ujar Jaksa Agung.

Dalam rangka mengupayakan pelaksanaan keadilan restoratif, setidaknya Kejaksaan telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain:

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Ketentuan ini sebagai bentuk diskresi penuntutan ini diharapkan dapat digunakan Jaksa untuk melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan asas kemanfaatan yang hendak dicapai.

Selanjutnya, sebagai bentuk tindak lanjut pelibatan unsur masyarakat, dalam setiap upaya perdamaian penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak korban, tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain maka dibentuklah wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ.

“Rumah RJ akan berfungsi sebagai wadah untuk menyerap nilai-nilai kearifan lokal, serta menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif,” tutur Burhanuddin.

Pewarta : Syamsuri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *