Connect with us

HUKRIM

KODE ETIK TIDAK ABU-ABU, KODE ETIK NORMA TERTULIS

Published

on

By : Febriadi Dalka, S.Kep.,M.H

JAKARTA | KopiPagi : Pelanggaran Kode Etik kerap kali terjadi. Bahkan, menjadi momok yang menakutkan sehingga memunculkan stigma-stigma terkait Etika/Etis, serta kode etik, mudah sekali rasanya mengatakan melanggar kode etik. Ternyata, belum banyak yang paham bahwa etik dan kode etik berbeda status hukumnya. Sanksi terhadap pelanggar kode etik hingga dapat dikeluarkan dari anggota profesi sebagai sanksi terbesar.

Febriadi Dalka, S.Kep.,MH.

Etika berasal dari kata Ethos yang berarti kebiasan dan atau perasaan terhadap baik dan buruk. Oleh karena baik buruk berasal dari individu atau pandangan individu, maka terjadi relatifitas. Relatif artinya baik menurut saya belum tentu baik menurut pihak lain, buruk menurut pihak lain belum tentu buruk menurut kita. Oleh sebab itu,  etika yang dijadikan kebiasaan di setiap tempat berbeda-beda konteksnya, suku dari barat berbeda dengan suku dari timur, begitu juga tempat lainnya.

Etika/ moral adalah sumber hukum/aturan, etika yang sifatnya luas dan berskala nasional akan diatur dalam hukum negara yakni undang-undang, etika yang skalanya lebih spesifik akan diatur dalam kode etik. Kode etik mengatur prilaku dalam lingkup suatu profesi dan kode etik setiap profesi berbeda-beda sesuai filosofis dari profesi tersebut.

Etika/ moral yang juga sifatnya lebih kecil, terhadap suatu kelompok tertentu walaupun di dalam kelompok tersebut memiliki profesi masing-masing, akan mengatur sendiri etika/ moral di dalam lingkup kelompok tersebut. Etika moral yang diatur dalam satu kelompok maka akan menjadi hukum adat/ kebiasaan. Adat istiadat dapat dituliskan dan dapat pula cukup diajarkan turun temurun. Hukum adat jika tertulis merupakan hukum tertulis jika tidak maka hukum tidak tertulis.

Hukum/ aturan berasal dari resultante atau hasil kesepakatan, baik hukum/ norma kesusilaan, kesopanan dan norma hukum, kecuali norma agama yang bersumber Tuhan yang menurunkan Wahyu. Maka kedudukan etika tersebut akan berubah menjadi hukum tertulis. Sesuatu yang tertulis tidaklah abu-abu.

Seorang bapak hukum adat yang bernama Cornelis Van Volenhofen atau dikenal dalam ilmu hukum adat sebagai bapak hukum adat mengatakan hukum adat merupakan “ Dibuat oleh dan berlaku dalam masyarakat penganutnya”. Oleh sebab itu, Kode etik dan hukum ada memiliki kemiripan sehingga hukum yang tertulis merupakan sesuatu yang tidak dapat dikatakan abu-abu.

Ada istilah baru dalam norma yaitu regulasi karet, semua keilmuan sosial memang mengandung definisi yang berbeda-beda terkait tatanan teori. Untuk menghapus kejadian istilah regulasi karet, maka diperlukan asas legalitas dengan lexstricta (tegas tanpa analogi). Kode etik dan hukum adat harus memiliki bahasa yang tidak mengandung dua makna, harus tegas. Sehingga tidak ada yang memberi pandangan terhadap kode etik atau hukum adat adalah abu-abu. ***

Penulis Adalah :Pengamat Muda Hukum Kesehatan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *