Connect with us

HUKRIM

Jaksa Agung : Pembuktian Merugikan Perekonomian Negara Banyak Tantangannya

Published

on

JAKARTA | KopiPagi  : Pembuktian tindak pidana yang merugikan perekonomian negara masih mendapat banyak tantangan dalam pelaksanaannya, mengingat konsepsi tersebut masih merupakan konsep yang luas. Oleh karenanya, perlu dibatasi dengan memberikan definisi dan penghitungan besaran yang jelas.

Demikian disampaikan Jaksa Agung Burhanuddin saat menjadi keynote speaker dalam seminar nasional dengan topik “Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan dalam Penanganan Tindak Pidana yang Merugikan Perekonomian Negara” yang berlangsung di Hotel Bidakara, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (13/07/2023).

Jaksa Agung mengatakan, penentuan kategori kerugian perekonomian negara dapat menjadi salah satu alternatif untuk memberikan kejelasan makna kerugian perekonomian negara itu sendiri.

Kategori tersebut dapat ditekankan pada apa yang dimaksud dengan kepentingan ekonomi yang menjadi terganggu akibat adanya tindak pidana yang dilakukan.

Sinergi antar aparat penegak hukum untuk memberikan persamaan persepsi mengenai kerugian perekonomian negara, juga menjadi salah satu hal penting untuk dilaksanakan.

“Dengan adanya persamaan persepsi antar aparat penegak hukum, maka penegakan hukum terhadap tindak pidana yang merugikan perekonomian negara dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien,” ujar Jaksa Agung.

Mengawali sambutannya, Jaksa Agung menyampaikan, modus tindak pidana korupsi yang semakin berkembang akhir-akhir ini, membuat penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan tidak hanya bersinggungan dengan perkara yang mengakibatkan kerugian keuangan negara semata, namun juga terhadap perkara yang mengakibatkan kerugian terhadap perekonomian negara, dan dampaknya sangat merusak dan meluas.

Dia menuturkan bahwa dampak korupsi telah merusak semua sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga membuat Kejaksaan harus adaptif terhadap perkembangan tindak pidana korupsi, yaitu dengan menggali mens rea pelaku, modus operandi yang dilakukan, kerugian yang ditimbulkan, serta follow the money guna mencari dan menyelamatkan kerugian negara yang telah timbul akibat perbuatan koruptif tersebut.

Jaksa Agung melanjutkan, dalam penanganan tindak pidana korupsi, semua tahapan penanganan memegang peranan yang sama pentingnya.

Namun demikian, katanya, semua tahapan penegakan hukum tersebut akan bermuara pada pembuktian di sidang pengadilan.

Jika berbicara mengenai masalah pembuktian, Jaksa Agung mengatakan, tentunya ada banyak hal yang saling berkaitan.

Sebab pada dasarnya, tindak pidana korupsi merupakan jenis kejahatan yang rumit karena dilakukan secara terstruktur, sistematis, masif, dan tertutup.

Pada kenyataannya, pelaku tindak pidana korupsi kerap dilakukan oleh orang dengan kemampuan ekonomi di atas rata-rata masyarakat dan pendidikan yang tinggi.

Di samping itu, pelaku tindak pidana korupsi juga dikarenakan previlege yang timbul terkait dengan adanya hubungan dengan jabatan strategis yang didudukinya.

Oleh sebab itu, kejahatan ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dalam tataran struktur sosial dan ekonomi tingkat atas, sehingga kejahatan ini juga dikenal sebagai white collar crimes.

“Permasalahan rumitnya pembuktian ini juga dikarenakan rumusan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),” tuturnya.

Pada kesempatan itu Jaksa Agung pun  mengatakan, Kejaksaan telah menangani beberapa kasus mega korupsi dengan nilai kerugian negara yang cukup fantastis.

Dari data penanganan perkara tindak pidana korupsi pada 2022 yang ditangani oleh Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan, diperoleh nilai total kerugian negara dari perkara korupsi dan TPPU sebesar Rp144,2 Triliun dan USD 61.948.551, dengan rincian:

– Kerugian keuangan negara sebesar Rp34,6 Triliun dan USD 61.948.551,00

– Kerugian perekonomian negara sebesar Rp109,5 Triliun.

“Pendekatan penanganan perkara tindak pidana korupsi melalui pendekatan kesalahan berdasarkan kerugian perekonomian negara, telah memberikan dampak yang signifikan terhadap perhitungan nilai kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi,” tandasnya.

Jaksa Agung mengatakan penerapan unsur kerugian perekonomian negara dapat menjangkau lebih luas terhadap pelaku, maupun kegiatan yang memiliki ruang lingkup multidimensi sosial dan ekonomi masyarakat luas.

Namun yang menjadi penting, dengan penerapan unsur kerugian perekonomian negara yaitu dapat dilakukannya tindakan-tindakan yang represif dengan melakukan berbagai penyitaan aset korporasi dan pribadi, termasuk aset yang terafiliasi dengan pelaku beserta keluarganya.

Bahkan dalam hal yang lebih ekstrim, dapat dilakukan pemblokiran semua rekening pelaku dan yang terafiliasi dengan pelaku tindak pidana.

“Penyitaan aset tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara, dimana berdasarkan data Laporan Kerja Instansi Pemerintah (LKjIP) pada 2022, Bidang Tindak Pidana Khusus se-Indonesia telah melakukan pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp2.7 triliun atau sebesar 62,41% dari jumlah pengembalian kerugian keuangan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu sebesar Rp4.4 Triliun, serta berkontribusi menyetorkan PNBP ke kas negara sebesar Rp2,1 Triliun  atau 75,71% dari total PNBP Kejaksaan RI sebesar Rp2.781.077.918.631,0,” jelas Jaksa Agung. *Kop.

Editor : Syamsuri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *