Connect with us

HUKRIM

Jaksa Agung Burhanuddin : RJ Guna Mewujudkan Keseimbangan & Perlindungan Hukum

Published

on

JAKARTA | KopiPagi : Penerapan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ) yang dilaksanakan Kejaksaan RI adalah guna mewujudkan keseimbangan dan perlndungan hukum bagi korban maupun pelaku tindsk pidana dalam sistem peradilan pidana.

“Hal itu disampaikan Jaksa Agung Burhanuddin dalam ceramahnya pada kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung,” ujar Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana, dalam siaran persnya di Jakarta, Sabtu (08/10/2022).

Dalam kuliah umumnya dengan tema “Keadilan Restoratif Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”,

Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan konsep keadilan dimulai dari konsep keadilan retributif, dan terus berkembang menjadi keadilan – keadilan restoratif yang pada dasarnya memiliki prinsip restitusi dan reparasi bagi korban, serta prinsip rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa paradigma keadilan restoratif, dipandang sebagai jawaban atas permasalahan pidana dan pemidanaan dengan paradigma keadilan retributif dan keadilan distributif.

Menurut Bambang Waluyo (dalam bukunya yang berjudul Penyelesaian Perkara Pidana (Penerapan Keadilan Restoratif dan Transformatif), keadilan restoratif pada dasarnya mencoba untuk menyelesaikan isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana seperti:

-Minimnya partisipasi korban tindak pidana dalam proses sistem peradilan pidana;

-Tidak hilangnya konflik antara pelaku dengan korban dan masyarakat pasca putusan pengadilan;

-Ketidakberdayaan korban untuk meraih perbaikan dari akibat tindak pidana yang diterima.

Jaksa Agung Burhanuddin menuturkan konsep keadilan restoratif meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku, dimana pemulihan akan memberikan kedamaian yang sempat pudar antara korban, pelaku, maupun masyarakat.

Hal tersebut merupakan moral etik dari konsep restorative justice karena pada dasarnya keadilan dan perdamaian tidak dapat dipisahkan.

“Pemulihan hubungan ini dapat didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku, sehingga dalam hal ini pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberikan kesempatan untuk memperbaiki akibat dari perbuatannya melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial maupun mekanisme lainnya. Hal tersebut menjadi pembeda dengan pelaksanaan pemidanaan konvensional yang tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat,” ujar Jaksa Agung Burhanuddin.

Adapun secara garis besar konsep keadilan restoratif dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pelaku harus menyadari kesalahannya dan tetap bertanggungjawab atas kejahatan yang telah dilakukannya terhadap korban;

Korban dalam hal ini menjadi subjek yang harus diutamakan. Hal ini dikarenakan korban merupakan subjek yang langsung merasakan akibat dari perbuatan tindak pidana pelaku;

Metode penyelesaian dalam konsep keadilan restoratif menggunakan musyawarah dengan melibatkan pelaku, korban, dan unsur masyarakat dalam hal pengambilan keputusan yang solutif guna memulihkan penderitaan korban;

Negara dalam hal ini melalui pemerintah harus memastikan bahwa kesepakatan yang telah ditetapkan berjalan dengan baik sehingga tidak menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan;

Dalam hal dianggap perlu, upaya perdamaian dapat melibatkan Masyarakat untuk mendorong, mendukung dan ikut berpartisipasi untuk membantu memberikan saran dan pendapat terhadap penyelesaian masalah.

“Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka konsep keadilan restoratif merupakan konsep yang dapat diterapkan di Indonesia. Hal tersebut dapat tergambar pada kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia yang mengutamakan musyawarah mufakat dalam penyelesaian permasalahan,” ujar Jaksa Agung.

Menurut Jaksa Agung, dalam konteks penerapan keadilan restoratif, tujuan yang hendak dicapai adalah terwujudnya keseimbangan dan perlindungan hukum baik bagi korban maupunc pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana. Pelibatan korban sebagai salah satu pihak dalam penyelesaian perkara pidana merupakan pergeseran orientasi hukum pidana, dimana korban sebagai pihak yang dirugikan dapat turut aktif untuk mencapai keadilan yang diinginkannya,” ujarnya

Katanya, korban sebagai pihak yang dirugikan, tidak dapat dilepaskan dari permasalahan hak-hak asasi manusia. Menurut Muladi (dalam bukunya Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat), korban adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian fisik, mental, emosional, ekonomi, atau gangguan terhadap hak-haknya.

Oleh karena itu korban adalah pihak yang perlu dilindungi oleh hukum.

Selain perlindungan terhadap korban, bagi pelaku tindak pidana juga mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Dasar pertimbangan perlindungan terhadap pelaku tindak pidana, (menurut Muladi dan Barda Nawawi dalam Teori-Teori dan Kebijakan Pidana), adalah:

Pemidanaan bagi pelaku tindak pidana dapat mengakibatkan ketidakmampuan narapidana untuk melanjutkan hidup yang produktif di kehidupan bermasyarakat.

Pemidanaan juga mengakibatkan terjadinya stigmatisasi bagi narapidana, sehingga menimbulkan beban psikologis mendalam bagi pelaku tindak pidana, sekaligus memengaruhi produktivitas narapidana dalam mencari pekerjaan karena telah ada lebel sebagai penjahat.

Namun demikian, perlindungan terhadap pelaku tindak pidana agar dilakukan secara hati-hati sesuai dengan tingkat sifat jahatnya perbuatan pidana yang dilakukan. Hal tersebut dapat diukur dari nilai kerugian yang ditimbulkan dan tingkat kesalahan pelaku tindak pidana. ***

Pewarta : Syamsuri.

Exit mobile version