YOGYAKARTA | KopiPagi : Anggota DPD RI dari DIY GKR Hemas menyatakan jika kegiatan penambangan pasir di daerahnya tidak lepas dari peliknya permasalahan kerusakan lingkungan hidup, transparansi pemberian izin operasional produksi, dan tata kelola tambang. Hal itu mengemuka saat menghimpun aspirasi pada audiensi dengan Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) dan kunjungan lapangan lokasi penambanhan pasir beberapa waktu lalu.
“Saat kunjungan ke lokasi tambang, keluhan warga itu macam-macam. Di Srandakan Bantul, warga mengadu jembatan gogos dan lahan pertanian di bantaran sungai rusak. Di Jomboran kemarin, saya lihat langsung, banyak lahan penduduk yang mulai runtuh, karena penambangan menggunakan mesin bego,” ungkap Hemas.
Menurut Hemas, warga Jomboran melaporkan, bunyi bising mesin tambang sangat mengganggu anak-anak yang belajar daring. Warga juga mengadu penambangan berdampak menurunnya kualitas air sumur warga. Mereka menitipkan 3 botol sampel air untuk diteliti, karena airnya sangat keruh, apakah layak dikonsumsi.
Demikian disampaikan GKR Hemas, pada Rapat Kerja dengan Pemda DIY, Pemda Kab. Sleman dan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak Sabtu (8/1). Melalui pertemuan ini, Hemas berharap para stakeholder memberikan data, informasi, usulan solusi dan rekomendasi terkait aktivitas tambang pasir di Kali Progo.
Hadir di Pendopo Kilen Kraton Yogyakarta, Danang Maharsa Wakil Bupati Sleman, mengakui persoalan Jomboran bermula dari surat keberatan warga tentang penolakan penambangan dengan alat berat pada Agustus 2020. Sudah dilakukan beberapa kali pertemuan forum komunikasi warga oleh kecamatan, aparat desa, dengan warga yang setuju dan tidak setuju.
“Akhir-akhir ini, persoalan mencuat lagi, karena warga merasa beberapa kondisi di lapangan merugikan mereka, seperti pencemaran air sumur dan menurunnya volume air sumur, beberapa rumah warga terancam karena berada di pinggir tebing sungai, dan kebisingan oleh alat berat,”ujarnya.
Menyangkut pemberian izin operasional produksi, Agus Priyono Kepala DPPM DIY menjelaskan, prosedur penerbitan izin sudah sesuai dengan regulasi baik ketentuan yang diatur UU No. 4 Tahun 2009 maupun Perda DIY Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Logam, Mineral Bukan Logam dan Batuan.
Nuri dari Kabid DPPM DIY, menambahkan sosialisasi menjadi point penting dalam penerbitan izin, paling tidak ada 5 kali sosialisasi yang dilaksanakan pelaku usaha, dihadiri oleh warga yang terdampak langsung, disaksikan dan ada tanda tangan dari aparat desa dan kecamatan.
Berdasarkan dokumen sosialisasi yang dilampirkan, DPPM akan melakukan sidang klarifikasi. DPPM akan meminta klarifikasi pada dinas/OPD teknis yang memberikan rekomendasi, baik itu dari DPUPESDM, Inspektur Tambang, DLH, BBWSO serta perangkat desa.
“Sidang inilah titik krusial, apakah izin akan diterbitkan atau tidak, kita klarifikasi betul-betul, misalnya apakah titik koordinatnya bersinggungan dengan tanah kas desa atau sultan ground, apakah aspek lingkungan sudah terpenuhi, atau dari rekomendai BBWSO, tambang sudah sah dan terjamin dari sisi keselamatan,” jelasnya.
Lebih lanjut Kusno Wibowo Wakil Kepala Dinas DPUPESDM DIY, menegaskan sebagai salah satu OPD teknis yang terlibat pengawasan operasional tambang, maka sebaiknya pengawasan dilakukan secara terintegrasi. Bisa didorong kolaborasi pengawasan antar OPD teknis.
Terkait kewenangan pengelolaan minerba oleh pemerintah pusat, sebagaimana diatur UU No. 3 Tahun 2020, saat ini ditindaklanjuti dengan PP No. 96 Tahun 2021, untuk kewenangan pengelolaan minerba akan dikembalikan ke pemda, namun masih menunggu terbitnya perpres.
Dari hasil raker tersebut, GKR Hemas menyimpulkan beberapa masukan dan usulan terkait penanganan aktivitas tambang pasir di DIY, yaitu: pentingnya pengaturan kewenangan pemda provinsi dalam pengelolaan minerba , maka perlu review UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Prosedur perizinan harus teliti, jangan terjadi manipulasi. Pengawasan pelaksanaan pertambangan dilaksanakan oleh OPD-OPD sesuai dengan kewenangannya. Untuk tata kelola pertambangan, perlu koordinasi intensif antar OPD dan instansi pusat yang memiliki kewenangan atas pelaksanaan pertambangan. Jika terbukti ada pelanggaran, perusahaan juga harus diberi sanksi tegas.
Untuk menindaklanjuti gejolak masyarakat akibat aktivitas tambang, Pemda DIY dan Pemda Kab. Sleman perlu melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat. Otn/Kop.