Connect with us

LIFE

DIDI KEMPOT SEORANG PETANI

Published

on

BAGAIMANA kita bisa menjelaskan fenomena musik Didi Kempot dari sudut lain? Maksud saya, tentu sudah banyak yg bicara soal musikalitas beliau, atau syair-syairnya. Proses kreatifnya. Mungkin yg belum terlalu banyak dijelaskan adalah penjelasan mengenai posisi kultural dari DK dan musiknya. Barangkali cerita saya berikut bisa untuk memulai.

Saya menduga, DK adalah bagian dari barisan budaya petani (peasant) yg masih berjuang untuk bertahan di masa kini. Peasant adalah petani tradisional yang orientasi hidupnya adalah memenuhi kebutuhan subsistensinya sendiri. Tidak berpretensi menjual hasil taninya. Bisa begitu karena organisasi sosial di komunitasnya amat kuat. Peasant punya jaring pengaman sosial yang memungkinkan dia bertahan walaupun di masa susah.

Peasant amat lekat dengan komunalitas. Semuanya dimiliki bersama. Apapun dibagikan pada sesama. Agar semua merasakan hal yang sama. Tidak ada orang yang lebih kaya. Tidak juga ada yang lebih miskin. Relatif setara. Sama.

Ini adalah ideologi yang amat berbeda dengan tipe petani yang farmer. Mereka amat berorientasi pasar. Motif produksinya adalah penjualan. Cari untung. Kalo mungkin dia menguasai sebanyak mungkin sawah. Agar produksi bisa lebih. Bisa kaya. Kalo ada petani lain miskin? Ya nanti kita bantu secukupnya. Atau dia bisa bekerja sebagai buruh di tempat farmer.

Kenapa DK merepresentasikan peasant? Ya begitulah. Bagi saya DK bukan orang yang mau senang sendiri. Jiwa komunalnya teramat tinggi. Tidak peduli berapa honornya, kalo bisa bikin orang lain senang sudah cukup buat dia. Diajak berderma? Paling depan dia antri. Bahkan menginisiasinya.  Ketika penyanyi lain tampil dengan perjanjian berapa lagu dia bawakan, DK nyanyi sesuka dia. Sebanyak-banyaknya. Asal masih ada waktu. Dan penonton masih suka.

Di sisi lain, jelas DK mirip para peasant. Yang merasa harus berbagi pada sesama. Semuanya. Tidak cuma lahan, hasil panen, kekayaan, dan rejekinya. Tapi juga kesedihannya. Kesusahnnya. Kemelaratannya pun dibagi kepada sesama. Maka tak heran sebagian komunitas tani lekat dengan kesederhanaan untuk tidak mengatakan kemiskinan. DK persis seperti tingkah peasant.

Lagi bahagia? Ayo nyanyi bareng. Joget bersama. Lagi bingung ga tau mau berbuat apa? Ayo nembang bareng. Joget bersama. Bahkan seandainya engkau sedang patah hati? Heiii… mari berdendang bersama DK. Joget bersama.

Dalam lagu-lagu yang dinyanyikannya, dalam hentak irama campursari, yang mellow di muka tapi tetiba jadi berubah mengalun dan sayang untuk tidak diiringi liukan badan, DK mengajak kita berbagi. Pilihannya tepat. Dia menyaksikan sesama peasant yang sedang berduka. Maka formulanya tepat. Nyanyi lagu sedih. Take a sad song, and make it better, kata seorang pujangga dari Liverpool. Tidak sekedar menyanyikan lagu sedih dengan riang, DK bahkan menjadikannya sebagai sarana untuk berjoget.

Sedih kok berjoget? Justru di sinilah ideologi peasant bekerja. Tidak ada rejeki yang bersifat individu. Kalau engkau mengambil rejeki terlalu banyak, mengambil laba terlalu tinggi, panen di sawahmu selalu berhasil, maka pada saat yang sama engkau tengah mengambil sebagian rejeki orang. Keuntungan orang lain. Hasil panen orang pun karenanya berkurang. Akan ada orang yang susah karena engkau mengambil terlalu banyak. Demikian pula halnya dengan kesedihan. Jangan diambil sendiri. Bagikanlah pada sesama. Ditanggung bersama. Agar tak terlalu berat bebanmu.

Eh, tapi bagaimana kalau usaha kita berhasil. Dan panen kita banyak. Rejeki berlimpah? Boleh saja. Tapi jangan lupa bikin selametan. Kenduri. Undang tetangga kiri kananmu. Ajak kumpul. Ucapkan rasa syukurmu. Sambil doakan sesamamu ikut beruntung. Lalu makan bersama. Itulah upacara, cara peasant untuk memeratakan rejeki. Walaupun simbolis.

Kenapa DK mengajak mereka yang patah hati untuk malah berjoget? Bagi saya itu juga merupakan upacara kaum peasant. Dalam sebuah upacara, semua harus tampil beda. Sakral. Suci. Khidmat. Tapi juga harus ada aspek grande. Kebesaran suasana. Kalau perlu ada kemeriahan dalam sebuah upacara. Bahkan selain menyaksikan upacara kematian yang kelam, niscaya kita juga sering melihat aspek meriah pada upacara kematian.

Pendeknya, DK mengajak kita untuk melupakan kesedihan. Tidak menanggungnya sendiri. Tapi memeratakannya. Tidak dengan rasa sakit hati, tapi upacarakan dengan kemeriahan. Maka ngetoplah kredo berkeseniannya: patah hati? Dijogeti wae.

Pada sesama peasant tentu tawaran lagu-lagu DK gampang diserap. Pun aura peasant yang ditampilkannya. Tapi kenapa masyarakat kota, yang modern, dan berjiwa individual tinggi itu juga menyukai DK? Iya itu menarik. Dalam hal ini, saya melihat masyarakat urban kita memang masih punya akar peasant yang kuat. Sentimentalitas peasantnya masih gampang terpicu. Tentu tidak ada yang salah. Ini ideologi budaya. Bukan ideologi politik kok.

Hanya bagi saya, dengan segala hormat, DK masih berhutang sesuatu. Setelah penonton menyanyi. Lalu berjoget. Dan menangis histeris. Apa solusi buat patah hati itu? 

Saya tidak tahu pasti. Mungkin secara psikologis mereka merasa plong. Ada outlet untuk melepaskan kepenatan jiwa. Bisa menangis tanpa dikatakan cengeng. Bisa berjoget walau ada rasa perih mengiris di setiap gerakan. Semuanya plong. Hilang di kerumuman dan kemeriahan upacara yang dipimpin DK.

Kalau patah hatinya bukan sekedar karena cinta bagaimana? Apakah upacara itu juga solusinya? Bukankah banyak lagu DK yang bicara patah hati akibat kondisi ekonomi yang timpang? Apakah itu selesai dengan dijogeti saja? 

DK masih berhutang satu solusi. Kecuali bila melalui lagu-lagunya, sektor ekonomi peasant juga ikut bergerak. Biduan kampung ikut laris dapat tanggapan. Musisi dengan gerobak speaker dapat job manggung. Para epigon bermunculan. Dan pengcover lagu-lagunya dapat like atau subscriber jutaan di Youtube. Lalu dimonetisasi. Kemudian mereka sejahtera. Dan membagikan kelebihannya pada saudara yang lain. Putaran ini semoga berlanjut lagi. 

Di situlah DK dapat melunasi hutangnya.

Oleh : Dr. Semiarto Aji Purwanto

Penulis adalah Antropolog UI

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *