Connect with us

HUKRIM

Keadilan Bagi Petani Pejuang Reforma Agraria : Hanya Mimpi di Siang Bolong

Published

on

PASBAR | KopiPagi : Keadilan bagi Petani pejuang Reforma Agraria, ternyata belum juga tersentuh bagi petani yang memperjuangkan haknya. Terbukti hari ini, Selasa (06/12/2022) delapan petani yang juga anggota SPI basis Aia Gadang sebagai terdakwa menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Pasaman Barat Sumbar. 

Ke delapan petani yang juga anggota SPI basis Aia Gadang Kecamatan Pasaman sebagai terdakwa tersebut yakni, Januardi, Akmal, Herianto, Susi Susanti, Safridin, Tamrin, Arman dan Amran, saat ini sedang menjalani sidang pembacaan dakwaan terkait tuduhan pelanggaran terhadap UU Perkebunan yang di laporkan oleh perusahaan perkebunan swasta PT. Anam Koto.

Menyikapi hal tersebut, Sekretaris Pusat Bantuan Hukum Petani Serikat Petani Indonesia (PBHP-SPI) M. Hafiz Saragih kepada media ini di Simpang Empat menyampaikan, ia sangat menyayangkan persoalan sosial yakni konflik agraria yang mengedepankan prinsip-prinsip pemidanaan.

“Konflik Agraria merupakan persoalan sosial yang sudah berlangsung sejak lama. Artinya struktural, sehingga membutuhkan penanganan yang serius oleh Pemerintah, baik pusat maupun daerah karena akan berdampak luas jika tidak segera diselesaikan. Penanganan permasalahan konflik agraria tentunya harus berlandaskan keadilan yang tercantum dalam konstitusi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)”, tutur Hafiz panjang lebar.

Menurut Hafiz, mengedepankan pemidanaan tidak akan menyelesaikan konflik agraria, tetapi justru akan menambah daftar petani dan rakyat perdesaan yang dipenjara akibat memperjuangkan hak atas tanahnya.

Dikatakannya, bila hal ini terus berlanjut, maka hal ini akan memperkuat atau bisa kian melegitimasi ketimpangan pemilikan dan pengusaaan tanah oleh segelintir orang yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan struktural di Indonesia.

Berdasarkan hal itu, Hafiz berharap agar Majelis Hakim bisa lebih bijak dalam melihat persoalan konflik agraria ini, sebagai persoalan sosial yang harus disikapi dengan semangat mewujudkan keadilan, terhadap akses sumber-sumber agraria bagi rakyat Indonesia.

“Pemidanaan tidak akan mencapai dari tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan,” ujarnya.

Hafiz menyampaikan, hal tersebut berawal dari adanya upaya masyarakat yang menuntut hak plasma dari PT. Anam Koto.

Upaya tersebut tak juga usai dan berlarut-larut, sebab hingga kini perjanjian yang ada tidak dilaksanakan oleh PT. Anam Koto.

Perjanjian tersebut antara lain yakni, PT. Anam Koto yang telah berjanji untuk membangunkan kebun masyarakat minimal 10% dari total luasan HGU, sebagaimana tercantum dalam perjanjian antara Nini Mamak Nagari Aia Gadang dengan PT. Anam Koto pada saat penyerahan tanah ulayat, hingga hari ini hal itu tidak terlaksana.

Akibatnya, masyarakat petani bersama SPI terus berjuang untuk mendapatkan hak plasma dari PT Anam Koto, namun perjuangan panjang tersebut, akhirnya menjadi konflik berkepanjangan yang mengakibatkan beberapa di antara masyarakat yang berjuang akhirnya berdahadapan dengan proses hukum.

Bahkan sebelumnya, ada lima orang anggota SPI  juga pernah menjalani proses hukum hingga ditahan.

Untuk itu, masyarakat dan petani berharap kepada pemerintah daerah Kabupaten Pasbar juga Pemerintah Pusat agar dapat membantu mereka dalam memperjuangkan haknya, terutama saat ini masyarakat sangat berharap perhatian Pemerintah untuk bertindak adil, sebab selamanya masyarakat melakukan perjuangan menuntut haknya, mereka dihadapkan dan dibenturkan dengan proses hukum.

Sementara itu, Januardi ketua Dewan Pengurus Cabang Serikat Petani Indonesia (DPC-SPI) Kabupaten Pasbar kepada media ini menyampaikan, sebelumnya masyarakat Aia Gadang yang tergabung dalam SPI Basis Aia Gadang sudah mengusulkan konflik tersebut ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

“Makanya dalam hal ini, Kementerian ATR/BPN sudah menetapkan lokasi konflik agraria SPI Basis Aia Gadang dengan PT. Anam Koto sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang harus diselesaikan konfliknya pada tahun 2022 ini, serta akan di redistribusikan paling lambat kepada petani tahun 2023. Target ini dilakukan untuk menunjang Reforma Agraria seluas 9 Juta Hektare secara nasional”, terang Januardi.

Dikatakannya, pelaporan pendudukan lahan secara tidak sah yang dituduhkan PT. Anam Koto kepada Masyarakat Aia Gadang secara sepihak ini, adalah merupakan bentuk pembangkangan yang dilakukan oleh Perusahaan terhadap komitmen Pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria yang saat ini jumlahnya sangat tinggi, terkhusus di Pasaman Barat.

Menurut Januardi, sebelumnya juga Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko, sudah mengeluarkan surat nomor B-21/KSK/03/2021 tentang permohonan perlindungan lokasi prioritas penyelesaian konflik agraria kepada Kapolri dan Panglima TNI, agar mencegah terjadinya kriminalisasi, intimidasi, hal ini bertujuan untuk membantu menjaga tetap tercipta kondusifitas di lokasi – lokasi prioritas.

“Tapi mengapa, hal ini tidak sedikitpun menjadi pertimbangan bagi Polres Pasaman Barat untuk menghentikan perkara konflik agraria, kami berharap berikan Keadilan bagi Petani Pejuang Reforma Agraria,” tegasnya mengakhiri. *Kop.

Pewarta : Zoelnasti.  

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *