Connect with us

U T A M A

RJ Merupakan Hukum Dinamis & Inovatif dalam Memberikan Keadilan Masyarakat

Published

on

JAKARTAKopi :  Restorative Justice (RJ) yang dilaksanakan oleh Kejaksaan dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 merupakan salah satu contoh konkrit hasil pemikiran hukum dinamis dan inovatif yang dikeluarkan oleh Kejaksaan RI dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat, ditengah-tengah keterbatasan hukum positif dalam memberikan keadilan bagi masyarakatnya. 

Demikian dikatakan Jaksa Agung RI, Prof Dr  ST Burhanuddin SH MH, saat meresmikan dan penyambutan mahasiswa baru Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Adhyaksa di Jakarta, Senin (03/10/2022).

Hadir pada peresmian itu Prof Dr HM. Syarifuddin, SH MH, Prof Ari Kuncoro, SE MA PhD, Prof Dr Edie Toet Hendratno. S.H., M.Si., Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc., Prof. Dr. Didi Turmudzi, M.Si., Dr. Reda Manthovani, S.H. LLM., Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A., Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Dr. Muhammad Yusuf Ateh, Ak., M.B.A., CSFA., CGCAE, Ketua Yayasan Karya Bhakti Adhyaksa Dr. Narendra Jatna, S.H.,LLM. beserta jajaran, Ketua STIH Adhyaksa Hasbullah, S.H., M.H. beserta jajaran, Para Senat, Dosen Kehormatan dan Dosen Tetap STIH Adhyaksa, Wakil Jaksa Agung, Para Jaksa Agung Muda, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Para Staf Ahli Jaksa Agung, Para Pejabat  Eselon II dan Eselon III di lingkungan Kejaksaan Agung, serta para mahasiswa baru STIH Adhyaksa.

Dalam sambutannya, Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa pada awalnya penegakan hukum yang berparadigma retributif diterapkan dalam setiap penyelesaian kasus hukum di tengah masyarakat.

Hasilnya, penegakan hukum cenderung tidak memberikan manfaat baik bagi pelaku, korban dan juga masyarakat.

“Hukum yang ada cenderung tidak berpihak kepada hak-hak korban, melainkan lebih dominan mengakomodir hak-hak pelaku,” ujar Burhanuddin.

Dia melanjutkan, penyelesaian kasus hukum melalui sarana pengadilan juga lebih fokus pada bagaimana menghukum seorang pelaku kejahatan, dibandingkan dengan memulihkan hak-hak korban.

Jaksa Agung menyampaikan korban kejahatan menjadi pihak yang mengalami kerugian, sering kali kurang diperhatikan keadaannya, bahkan dapat dikatakan bahwa korban mengalami kerugian dari pengadilan itu sendiri, sementara kita tahu, kerugian korban tidak terpulihkan dengan pemidanaan pelaku kejahatan.

“Oleh karenanya, jika orientasi penegakan hukum ditujukan pula untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh korban, maka akan lebih tepat jika pelaku kejahatan diwajibkan oleh negara untuk memperbaiki kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku terhadap korban,” terang Jaksa Agung.

Di sisi lain, terdapat contoh kasus beberapa penanganan tindak pidana yang menurut masyarakat tidak pantas untuk dibawa ke pengadilan, seperti pada kasus nenek Minah dan kakek Samirin.

Jaksa Agung menyampaikan penanganan perkara pada kedua kasus tersebut sebenarnya telah sesuai aturan, dan penegak hukum hanya menjalankan amanah undang-undang, namun tanpa sadar penegakan hukum yang dilakukan mencederai rasa keadilan masyarakat.

“Untuk menjawab problematika penegakan hukum tersebut, maka penerapan hukum positif harus diikuti dengan proses menggali hukum  dan keadilan, yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Mengapa kita harus menggali hukum dan keadilan di dalam masyarakat? karena saya melihat hukum sebagai sebuah kaidah sosial yang tidak lepas dari nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, tentunya merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,” ujar Jaksa Agung.

Oleh karenanya, Jaksa Agung menyampaikan salah satu upaya dalam memberikan sumbangsih agar terwujudnya penegakan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, Kejaksaan RI memanfaatkan potensi kewenangan yang dimiliki berdasarkan asas dominus litis, dengan menerbitkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“Hanya beberapa perkara yang dapat diselesaikan dengan Peraturan Kejaksaan RI tersebut setelah memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya adalah telah pulihnya hak-hak korban yang dilanggar, telah terjadi perdamaian antara pelaku dengan korban, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun,” ujar Jaksa Agung.

Dia mengatakan Peraturan Kejaksaan RI ini menjadi dasar hukum bagi para Jaksa untuk melakukan penghentian penuntutan yang berorientasi pada upaya memulihan kerugian korban kejahatan, dan upaya memperbaiki diri pelaku kejahatan, serta mengembalikan tatanan hidup masyarakat yang sempat tergores dengan adanya suatu tindak pidana seperti keadaan semula.

“Pemikiran hukum bisa saja statis, namun kita harus dinamis dalam melihat isi dari hukum dalam setiap penerapan faktualnya di tengah masyarakat, karena begitu dinamisnya gerak ruang hidup masyarakat dengan kompleksitas permasalahannya,” ujar Jaksa Agung.

Oleh karena itu, para mahasiswa baru STIH Adhyaksa, sebagai bekal saudara untuk masuk ke dalam dunia pendidikan dan peradaban hukum, saudara harus mampu membangun paradigma berpikir logis dan sistematis serta berani memunculkan ide-ide inovatif dalam proses pendalaman keilmuan hukum yang akan saudara laksanakan selama perkuliahan nanti.

Lebih lanjut Jaksa Agung Buehanuddin mengungkapkan, tingkatan paling tinggi dalam peradaban manusia adalah hati nurani yang tidak hanya menyentuh hak-hak dasar asasi manusia, akan tetapi menuntun manusia sesuai adat, etika, sopan santun, kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.

Penegakan hukum yang baik harus mampu mewujudkan kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan di dalam masyarakat yang menjadi tujuan dasar hidup bermasyarakat sehingga hukum mampu mengkolaborasi hukum yang diberlakukan (hukum positif) dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

“Kehadiran hukum tidak saja menjadi kebutuhan tapi juga menjadi stabilisator dinamis di tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan kesadaran masyarakat dan hal inilah yang akan menjadi cita hukum nasional,” ucap Jaksa Agung Burhanuddin. ***

Pewarta : Syamsuri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *