Connect with us

REGIONAL

Danau Toba Jadi ‘Toilet Raksasa’, ILAJ Minta Luhut Tutup KJA PT. Japfa

Published

on

KopiOnline SIMALUNGUN,- Institute Law And Justice (ILAJ) menyoroti kondisi air Danau Toba Sumatera Utara yang semakin hari semakin kotor dan tercemar. Hal ini akan mempengaruhui destinasi wisata khususnya pariwisata Danau Toba yang berdampak menurunnya kunjungan wisatawan jika KJA tidak dibersihkan.

“Kita baru saja mengitari atau mengelilingi Danau Toba. Kita melihat anak-anak mandi di pinggiran Danau Toba dengan kondisi kualitas air yang sangat buruk. Dikhawatirkan akan mengakibatkan penyakit bagi masyarakat sekitar pengguna air Danau Toba,“ kata Fawer Full Fander Sihite Ketua ILAJ, seperti yang dilansir Siantar News 24 Jam, Kamis (16/01/2020).

Menjawab pernyataan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Dana Tarigan, yang menyebut bahwa Danau Toba sudah seperti “Toilet Raksasa”, karena semuanya dibuang di danau dan dibiarkan oleh pemerintah, Fawer sangat sependapat.

“Yah, saya sangat sependapat dengan Dana Tarigan, Direktur Walhi yang mengatakan bahwa Danau Toba sudah jadi seperti ‘’Toilet’ Raksasa,” kata Ketua ILAJ dengan lantang.

Buktinya, ILAJ dalam laporan investigasi yang dilakukan oleh Tim dari ILAJ menyebutkan, bahwa telah menemukan beberapa bukti yang sangat akurat yang menjadi salah satu penyebab kotornya air Danau Toba.
Salah satunya dari hasil temuan tersebut adalah Keramba Jaring Apung (KJA) milik PT. Japfa yang sudah beroperasi sudah begitu lama di dalam lokasi Danau Toba.

“Kita akan segera berkomunikasi dengan pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatera Utara, agar sama-sama langsung turun meninjau lokasi KJA PT. Japfa, agar kualitas air di sekitar KJA nantinya bisa langsung dibawa ke Laboratorium DLH Provinsi Sumatera Utara,” kata Aktivis muda tersebut.

ILAJ juga meminta keseriusan Pemerintah Pusat dalam hal ini Luhut Binsar Panjaitan agar selaku Menteri Kemaritiman segera menutup KJA PT. Japfa, karena hal ini juga demi kepentingan kemajuan Priwisata Danau Toba.

“Apakah kita akan menjual Danau Toba ke wisatawan dunia dengan kondisi airnya kotor, bau dan tercemar. Oleh karena itu seluruh KJA di Danau Toba harus segera dibersihkan, jangan lagi dipelihara karena lebih banyak mudaratnya dari pada keuntungannya,” kata Fawer dengan lantang.

Terkait dengan laporan investigasi ILAJ, Jhony Hutagaol Humas dari PT Japfa saat dikonfirmasi media ini melalu telepon selulernya mengatakan, bahwa pihaknya sudah melakukan prosedur sesuai dengan kententuan dari DLH Provinsi Sumatra Utara.

“Setiap hari kita mengambil sempel air untuk diperiksa DLH dalam rangka untuk mengukur tingkat keruhnya air Danau Toba, dan untuk keperluan analisis kedepannya,” kata Jhonny Hutagaol.

Soal disebut PT Japfa sebagai penyebab pencemaran air di Danau Toba, pihaknya menyebut tidaklah serta merta harus dituding seperti itu. Sebab, masih banyak yang harus di pertimbangkan.

“Tidak serta merta tudingan itu harus ditujukan kepada PT Japfa. Sebab, bukan hanya PT Japfa yang memiliki KJA di permukaan air Danau Toba. Kan masih banyak KJA milik masyarakat lain,” ungkapnya.

Dalam pengakuannya, Jhonny Hutagaol sebagai putra Samosir dari Desa Onanrunggu, memang jauh sebelumnya air Danau Toba masih bisa diminum langsung. Jika, itu dibandingkan pada saat ini, yah sudah tidak mungkin.

Untuk informasi, pencemaran air di Danau Toba semakin mengkhawatirkan. Pembuangan limbah secara ilegal oleh sentra produksi dan hotel-hotel di sekitar turut mengancam kesehatan penduduk setempat.

Pujian sempat mengalir dari ucapan Presiden Joko Widodo tentang keindahan Danau Toba dalam kunjungannya pada 2017 silam. Dia ingin mengubah kawasan itu menjadi destinasi pariwisata andalan Indonesia. Namun masalah lingkungan mengancam ambisi pemerintah.

Pasalnya, kondisi Danau Toba saat ini dianggap kian memperihatinkan lantaran maraknya pencemaran limbah dan polusi dari sentra produksi yang berada di sekitar danau. Terutama kasus pembuangan bangkai ikan oleh perusahaan budidaya perikanan.

Selain PT Japfa, budidaya perikanan milik Swiss, PT. Aquafarm Nusantara yang sempat juga menjadi buah bibir di kalangan aktivis lingkungan.

Kasus ini berawal dari kisah seorang penyelam yang menemukan beberapa karung berisikan bangkai ikan di dasar danau di dekat Ajibata. Karung-karung tersebut sudah dibebani agar tidak mengapung.

PT. Aquafarm yang memiliki keramba jaring apung terbesar di kawasan itu pun dituding jadi tersangka utama.

Ironisnya, PT. Aquafarm Nusantara yang dimiliki Regal Springs asal Swiss itu masih mengantongi sertifikat berkelanjutan dari Aquaculture Stewardship Council yang antara lain masih berlaku hingga 2021.
Lembaga independen ini mengawasi metode produksi berkelanjutan pada setiap sentra produksi budidaya ikan air tawar.

Danau Toba ‘Toilet” Raksasa

Lebih lanjut, PT. Aquafarm tidak sendirian dalam memanfaatkan Danau Toba sebagai tempat pembuangan akhir. PT Alegrindo Nusantara yang merupakan perusahaan peternakan babi juga dituding membuang limbah kotoran ternak ke dalam danau.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Dana Tarigan yang dilansir Aktual (31 Januari 2019), ternyata bukan hanya perusahaan tersebut yang berandil besar pembuangan limbah, namun ada sekitar 80% hotel di sekitar Danau Toba, diduga belum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

“Kalau saya menyebutnya, Danau Toba tidak lagi seperti bidadari yang cantik,” kata dia kepada Deutsche Welle.

“Kalau kata saya bilang malah seperti toilet raksasa, karena semuanya dibuang di situ dan dibiarkan oleh pemerintah,” imbuhnya.

Pencemaran air di Danau Toba, kata Dana, sudah mencapai ambang batas yang diizinkan. Jangankan untuk pariwisata, bak air di sekitar sentra produksi bahkan tidak lagi layak dikonsumsi untuk penduduk lokal.

Ironisnya, 80% masih digunakan untuk air minum oleh masyarakat.
Memang, DLH Sumatera Utara masih menyelidiki limbah ikan busuk yang dibuang ke dasar Danau Toba di areal PT Aquafarm Nusantara. Seperti dilaporkan Tribun Medan, bangkai ikan yang ditenggelamkan itu berada persis di depan Pos PT. Aquafarm yang juga tidak jauh dari Gudang dan Keramba Jaring Apung milik perusahaan.

Menurut Dana Tarigan, lemahnya penegakan hukum dan perlindungan lingkungan perlahan membunuh ekosistem danau. Kajian Bank Dunia yang dibuat pada 2017 silam menyebut upaya pemulihan Danau Toba bisa membutuhkan waktu hingga 80 tahun dengan dana yang tidak sedikit.
“Jika sudah selama itu waktu pemulihannya, bisa Anda bayangkan separah apa kotornya air Danau Toba itu,” kata dia. Son/kop.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *