Connect with us

MARKAS

 Kejagung Petakan Titik Lemah Perencanaan, Pengelolaan & Penyaluran Dana Desa

Published

on

KopiOnline Jakarta.– Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah memetakan titik lemah perencanaan, pengelolaan dan penyaluran dana desa. Pemetaan ini menjadi acuan bagi kejaksaan dalam melakukan pengawalan dana desa.

Hal itu dikatakan M Yusuf, Direktur B pada Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung (Kejagung), pada acara sosialisasi dana desa yang diselenggarakan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) bersama Kejaksaan Agung,di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin.

Menurut Yusuf, pengawalan yang dilakukan sejak tahap perencanaan tersebut untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan dan penyelewengan.

“Asumsi jaksa, dengan naluri penyidikannya, kalau ada terindikasi akan adanya penyelewengan, itu cepat sekali terdeteksi. Kita akan ingatkan sejak dini agar tidak terjadi penyelewengan,” terang Yusuf.

Yusuf yang mewakili Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung, Jan S Maringka,mengatakan dana desa merupakan salah satu implementasi poin ketiga Nawacita pemerintahan Jokowi – Kalla yaitu Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan.

“Alokasi dana desa yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan menunjukkan perhatian besar Pemerintah dalam membangun Desa sebagai Pemerintah asli masyarakat Indonesia, pada tahun 2019 ini dana desa mencapai Rp. 70 Trilyun,” kata Yusuf.

Berkaitan dengan hal tersebut, kata Yusuf, perlu diimbangi dengan pemahaman para kepala desa dan aparat pemerintah daerah dalam mengelola dana desa, serta penguatan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, desa dan aparat penegak hukum.

Kekurangpahaman para kepala desa terkait prinsip-prinsip pertanggungjawaban keuangan negara pada gilirannya dapat menimbulkan konflik di tengah masyarakat, yang tidak jarang pada akhirnya bermuara pada permasalahan hukum yang menyeret para kepala desa,” jelas Jan.

Dalam kesempatan itu Yusuf memaparkan beberapa potensi permasalahan hukum dalam pendistribusian dan pemanfaatan dana desa yang sering ditemui di lapangan, antara lain di tahap pendistrisbusian dari Pemerintah Kab/Kota kepada Kepala Desa, antara lain adanya pemotongan, proyek-proyek pesanan, hanya dibagikan kepada para pendukung bupati/partai politik tertentu.

Di tahap pengelolaan, antara lain dana desa dikelola sendiri secara kepala desa tanpa melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan di desa, atau hanya melibatkan kepentingan tim sukses Kepala Desa.

Di tahap pemanfaatan, antara lain mark up biaya honorarium, proyek fiktif, pengurangan volume pekerjaan, proyek asal jadi atau tidak sesuai kebutuhan masyarakat.

Di tahap pertanggungjawaban keuangan, antara lain keterlambatan penyampaian laporan pertanggungjawaban, laporan pertanggungjawaban tanpa dilengkapi bukti dan dokumentasi.

Sementara itu Sekjen Kemendes, Anwar Sanusi, mengakui peran kejaksaan sangat strategis dalam pengawalan dan penyaluran dan pemanfaatan dana desa.

“Penyaluran dana desa dari tahun ke tahun terus meningkat dan telah memberikan kemajuan dalam pembangunan perekonomian lebih dari 2255 desa.Khusus untuk Sulawesi Selatan telah dikucurkan Rp8,3 triliun,” jelas Anwar Sanusi.

Bahkan ungkapnya dalam kegiatan Bumdes dari total jumlah 45.000 telah memiliki omzet mencapai Rp1,4 triliun.

Dia berharap agar sinergitas bersama Kejaksaan dalam pengawalan dan penyaluran dana desa dapat berjalan optimal sehingga penyaluran tepat waktu dan tepat sasaran.

Dikatakannya, kejaksaan akan membantu mendampingi kepala desa mulai dari tahap merancang APBDes, tahap penyaluran, pelaksanaan, hingga pelaporan dana desa. Kerja sama tersebut direalisasikan kejaksaan melalui program Jaga Desa.

“Kejaksaan sudah punya program Jaga Desa. Ini terobosan bagaimana kejaksaan benar-benar menjadi mitra desa dalam program dana desa,” ujarnya.

Menurut Sanusi, dana desa hingga saat ini telah berhasil meningkatkan kualitas hidup masyarakat perdesaan. Hal tersebut dilihat dari keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka stunting dari 37 persen pada tahun 2013 menjadi 30 persen pada tahun 2018. Selain itu, pendapatan masyarakat desa juga meningkat dari Rp 500 ribu per kapita pada tahun 2013 menjadi Rp 800 ribu per kapita pada tahun 2018.

“Karena fasilitas sosial dasar perdesaan bertambah signifikan, seperti klinik desa, Posyandu. Karena ini tidak hanya untuk Balita, tapi juga untuk Lansia. Ada PAUD juga dan ragam infrastruktur dasar lainnya yang berhasil terbangun,” ujarnya. Syamsuri

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version