Oleh: Djohermansyah Djohan
JAKARTA | KopiPagi : Chile baru saja usai bikin pilpres. Hasilnya, kursi presiden dimenangkan oleh politisi milenial Gabriel Boric. Partai-partai yang mendukung kaum tua tumbang. Pemerintahan terbentuk oleh gerakan cerdas kaum milenial. Bagaimana dengan Indonesia?
Orang Minang bilang, “sekali air gadang, sekali tepian beralih”. Tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini, termasuk di dunia pemerintahan.
Habis Presiden SBY dari Partai Demokrat, naik Presiden Jokowi dari PDIP. Setelah itu, tahun 2024 tentu akan ada penggantinya lagi. Apakah ada peluang bagi politisi milenial? Walau tidak gampang, perubahan pemerintahan itu suatu keniscayaan. Sekuasa apapun sang pemimpin dan sedigjaya apapun partai, ada waktunya mereka selesai.
Dalam sistem Pemerintahan demokrasi penentunya adalah rakyat yang berdaulat. Bukan penguasaan rezim atas aneka sumber daya, alat-alat kekuasaan, dan uang. Bahkan, tidak juga aturan main yang menguntungkan maupun para pelaksana pemilihan yang pro status-quo.
Tinggal rakyat berdaulat macam apa yang akan membuat mimpi perubahan pemerintahan menjadi kenyataan.
Teori klasik demokrasi bilang, pemilih itu mesti berpendidikan memadai setingkat paling kurang SLTA dan berpendapatan relatif sedang sekitar paling minim 6.000 US Dollar perorang. Jelas persyaratan itu masih jauh untuk kita dipenuhi. Rata-rata tingkat pendidikan manusia Indonesia klas II SLTP dan incomenya masih belum mencapai 4.000 US Dollar. Atau dengan kata lain kaum klas menengah yang bisa mendobrak perubahan pemerintahan belum terbentuk.
Lalu, apakah masih ada jalan ? Dari fenomena pemerintahan yang terjadi dewasa ini, seperti terlihat dari kasus Chile, kaum milenial kita sebagai mayoritas pemilih (sekitar 100 juta) bisa menjadi faktor determinant.
Keluguan, kewarasan, kejernihan perilaku, tidak terikat pada ideologi tertentu, relatif zero kepentingan, dan paling penting mereka tidak doyan politik uang akan mendorong mereka menjadi pemilih rasional.
Mestinya, pemilih milenial ini diberi hak dua suara oleh negara, sedangkan pemilih “kolonial” cukup satu suara saja?
Politisi gaek yang berkubang di lumpur politik, miskin prestasi, bermoral rendah, dan penuh kosmetik politik, agaknya tidak menarik bagi mereka.
Jangan kaget bila pilihan mereka jatuh pada politisi lapangan/praktisi pemerintahan milenial atau mereka yang memiliki “millenial style”. Bermoral tinggi, anti-korupsi, pro-rakyat bawah, kaya inovasi, cakap bekerja, dan suka berkolaborasi.
Lebih dari itu, ada kerja nyata yg kasat mata, baik dalam pembangunan fisik maupun non-fisik, dan terbukti diapresiasi rakyat.
Selamat datang perubahan pemerintahan yang dihela oleh pemilih milenial. Mereka hanya perlu membangun suatu gerakan yang untungnya sangat dimudahkan berkat kehadiran teknologi digital melalui media sosial. ***
Penulis Adalah :
*) Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN