JAKARTA | KopiPagi : Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Fadil Zumhana, meyakini dan optimis terhadap perubahan prilaku Jaksa yang semakin baik dalam mengedepankan hati Nurani.
Demikian dikatakan Fadil Zumhana usai menyetujui 6 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice yang diajukan para Jaksa dari sejumlah Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari).
“Ketajaman hati nurani harus diasah melalui penanganan perkara yang berkualitas dan didasari oleh ketulusan,” kata Fadil di Jakarta, Senin (11/07/2022).
Seperti diketahui Jaksa Agung Burhanuddin melalui Jampidum Fadil Zumhana menyetujui 6 Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice (RJ).
Enam berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan RJ antara lain, yaitu Tersangka Ropian bin Narsudi dari Kejaksaan Negeri Kota Tangerang yang disangka melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP jo Pasal 53 ayat (1) KUHP tentang Percobaan Pencurian.
Tersangka Riski Fransiski dari Kejaksaan Negeri Kota Tangerang yang disangka melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kemudian, tersangka Rubianto alias Robin dari Kejaksaan Negeri Batanghari yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, dan Tersangka Syafril alias Aril bin Maksum (alm) dari Kejaksaan Negeri Tebo yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Lalu Tersangka Rein Tumida dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
(Keenam) Tersangka Muhammad Hatta alias tata bin J. Apandi dari Kejaksaan Negeri Majalengka yang disangka melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.
Menurut Fadil, alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan diantaranya adalah Telah dilaksanakan proses perdamaian, dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
Kemudian tersangka belum pernah dihukum. Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun. Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.
Selanjutnya, Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
“Pertimbangan sosiologis. Masyarakat merespon positif,” ujarnya.
Selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). SKP2 berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022.
“Tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” tukasnya. ***
Pewarta : Syamsuri.