Connect with us

HUKRIM

Prof. Djo : Mereka Bukan Pencari Kerja, Mereka Tuntut Hak-nya di KPK

Published

on

Prof Djo Apresiasi Rencana Kapolri Rekrut 56 Pegawai Non Aktif KPK

JAKARTA | KopiPagi : Pakar Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA mengapresiasi rencana Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang akan merekrut 56 pegawai nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos TWK. Namun, kata Prof Djo sapaan akrabnya, untuk menjadi ASN itu harus ada prosedurnya tidak bisa bebas dari aturan prosedur yang berlaku. 

“Kecuali ada perubahan dari kebijakan yang mengatur, membuka ruang dispensasi. Berarti harus diperbaiki aturan mainnya, apakah Peraturan Presiden atau peraturan Menpan RB, dsb.Hal itu, merupakan tata cara yang harus ditempuh,” ujar Presiden Institur Otonomi Daerah (i-Otda) di Jakarta, Kamis (30/09/2021).

Menurutnya agak aneh kalau dikatakan langsung diterima sebagai ASN. Karena ada syarat-syarat seperti umur, terkait dengan tingkat pendidikan. “Dengan begitu dia harus memenuhi standar itu kalau memang pakai prosedur biasa. Kecuali kalau ini mau dibuat  prosedur luar biasa. Artinya harus ada perubahan aturan main yang sudah berlaku selama ini,” kata Prof. Djo.

Terkait hasil tes TWK, kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu, mereka yang ikut tes harus tahu, terbuka dan transparan. Mengapa mereka tidak lulus, berapa nilainya. Harus diberi tahu kepada pegawai itu.

Lalu kemudian harus dipelajari lagi subtansi undang-undang yang mengaturnya. UU KPK yang direvisi itu, apakah status alih tanpa syarat atau bersyarat. Kalau dialihkan berarti tidak boleh merugikan mereka. Artinya siapa yang jadi personil di dalam kelembagaan KPK sebelum dialihkan dipindahkan menjadi ASN.

Kemudian ada lagi kebijakan untuk melakukan TWK yang kita tahu di dalam prosedur dan pelaksanaannya ada berbagai macam persoalan yang sekarang sudah ditemukan oleh Ombudsman, juga Komnas HAM, lalu mereka sudah melaporkan kepada Presiden.

“Presiden belum merespon untuk memutuskan, sebagai tanggung jawab konstitusional.  Menurut saya dalam UU ASN no 5 tahun 2014 Presiden itu adalah pejabat Pembina kepegawaian di Negara ini. Kewenangan kepegawaian dimanapun di Negara ini maupun kementerian atau di lembaga-lembaga seperti KPK, pemda-pemda provinsi, kabupaten kota kewenangan terkait kepegawaian adalah menjadi kewenangan presiden,” terangnya.

Hal itu, lanjutnya, didelegasikan ke para gubernur, para menteri. Jadi kalau mereka mengeksekusi kebijakan soal kepagawaian apakah BKN atau KPK menurut pendapat presiden itu tidak tepat, presiden bisa mengkoreksi kebijakan mereka.

“Jadi kita memang menunggu itu, karena sudah ada rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM. Kemudian juga sudah diajukan oleh  wadah pegawai  di KPK. Itu sudah cukup,” tutur Dirjen Otda Kemendagri periode 2010 hingga 2014 itu.

Dengan begitu, kata Prof Djo, memang lebih baik kita tunggu presiden menggunakan kewenangannya sebagai pejabat Pembina kepegawaian tertinggi di Republik ini yang boleh mengkoreksi kebijakan kepegawaian oleh menteri atau kepala lembaga, oleh gubernur, bupati dan walikota.

“Yang bisa dicermati dari perekrutan oleh Kapolri nantinya terhadap 56 pegawai non aktif KPK. Jika belum ada skemanya persiapan apa yang harus diperhatikan oleh Kapolri,” ujar Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.

Yang pertama, paparnya, harus dikoordinasikan dengan pihak terkait. Katanya Presiden telah kasih lampu hijau atas usulan Kapolri. Diminta kapolri untuk berkoordinasi dengan pihak terkait, seperti Mensesneg, Menpan RB, Kepala BKN.

“Yang paling penting dengan pihak KPK sendiri selaku user yang menetapkan 56 orang tidak lolos TWK, padahal mereka seharusnya layak diberi penghargaan. Mereka punya prestasi yang luar biasa belasan tahun untuk KPK,” ungkapnya.

Tidak kalah pentingnya 56 orang itu bagaimana menyikapi kebijakan kapolri setelah berkoordinasi ndengan pihak terkait tadi apakah mereka bersedia atau tidak bersedia. Bisa saja ada yang bersedia, karena diiming-iming misalnya bakal menjadi penyidik disana, atau ada  yang tidak bersedia karena mereka bukan menuntut untuk jadi ASN, tapi mereka menuntut bekerja di tempat dia mengabdi selama ini.

Kalau tidak bersedia berarti kebijakan Kapolri itu tidak bisa dilaksanakan. Namun, menurut saya kalau bahasa sederhananya lain yang gatal lain yang digaruk. Yang menjadi persoalan mereka minta dikembalikan bekerja di KPK bukan bekerja di tempat yang lain. Mereka bukan pencari kerja, mereka menuntut hak-hak nya sesuai UU yang mengatur soal KPK, itulah yang diminta oleh mereka.

Sebaiknya itulah yang direspon oleh pemerintah. Dalam hal ini kepala eksekutif pemerintah tertinggi adalah presiden.  Jadi Kapolri itu hanya saran dan masukan kemudian diarahkan silahkan koordinasi dengan pihak terkait.

“ Kalau itu tidak bisa dijalankan, bola kembali kepada presiden. Kita berharap presiden bisa merenung untuk memenuhi keinginan mereka,” pungkas Gurubesar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu. *Kop.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version