Connect with us

HUKRIM

Jamdatun Feri Wibisono: Kasus Korupsi yang Diungkap Masih Di Bawah 10 %

Published

on

 

JAKARTA | KopiPagi : Satuan kerja tindak pidana khusus pada Kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya yang berhasil menangani
perkara korupsi, selayaknya tidak cepat puas atau jumawa atas keberhasilan itu. Pasalnya, kasus korupsi yang diungkap masih berada pada angka di bawah 10% dari kasus korupsi itu sendiri.

Demikian disampaikan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung (Kejagung), Dr Feri Wibisono, ketika tampil sebagai Keynote Speaker secara virtual pada acara
Focus Group Discussion (FGD) Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum dengan tema “Strategi Keperdataan Guna Keberhasilan Pemulihan dan Pengembalian Kerugian Negara dalam Perspektif Peraturan Kejaksaan RI Nomor 7 Tahun 2021”
yang diikuti oleh para peserta dari seluruh satuan kerja di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri hingga Cabang Kejaksaan Negeri, pada Selasa (29/08/2023).

Oleh karena itu, lanjut Feri, masih beberapa kasus korupsi dari masa lalu hingga sekarang yang tidak ditangani dikarenakan tidak adanya pengaduan mengenai perkara korupsi, sehingga hanya beberapa perkara korupsi saja yang dapat terungkap.

Dan dari perkara tersebut yang bisa di recover dan dikembalikan berada dibawah 10%.

Jamdatun Feri Wibisono menyatakan, konsentrasi dari penegak hukum tidak hanya menyelesaikan perkara, tetapi juga mencari aset yang bisa di sita sebagai bagian dari pengembalian harta negara yang pastinya memerlukan cara luar biasa.

“Penyitaan aset dilakukan sebagai bagian dari bayaran uang pengganti,” kata Feri.

Selanjutnya, Jamdatun Feri Wibisono menjelaskan, terdapat beberapa tantangan dalam pemulihan keuangan negara diantaranya :

1. White Collar Crime.

2. Korupsi memiliki sifat yang terorganisir dan transnasional

3. Penyembunyian aset di luar negeri.

4. Hasil tindak pidana korupsi diatasnamakan kepada pihak ketiga.

5. Aset dapat dialihkan dengan waktu yang cepat, sedangkan profiling membutuhkan waktu yang cukup lama.

6. Informasi transaksi seringkalli terlambat sehingga dapat direkayasa.

Oleh karenanya, JAM-Datun menuturkan bahwa instrumen yang dapat menjadi alat bukti dalam perkara tindak pidana korupsi meliputi dokumen elektronik mengenai data pribadi dan bukti mutasi rekening pelaku.

Berdasarkan bukti yang telah dilacak, dapat diketahui gender dan pemilik dari aset tersebut (pelaku).

Mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, informasi atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah.

Sementara itu, praktisi hukum Dr. Muhammad Yusuf, SH MH, menjadi narasumber dengan materinya “Peran Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam Pengembalian Keuangan Negara dari Tindak Pidana Korupsi yang berimplikasi pada Keperdataan untuk Kepentingan Pemulihan Keuangan Negara dan Perekonomian Negara”.

Dalam materinya, ia menyampaikan bahwa Jaksa Pengacara Negara (JPN) bertugas sebagai penegak hukum yang melindungi kepentingan negara yang sudah disesuaikan dengan peraturan perundang undangan dalam rangka melakukan pemeliharaan ketertiban hukum, kepastian hukum dan pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat.

Selanjutnya, Dr. Muhammad Yusuf, S.H., M.M. mengatakan, JPN dapat melakukan penindakan di luar penegakan hukum, bantuan hukum, pelayanan hukum dan pertimbangan hukum, yakni dilakukannya tindakan hukum lainnya seperti memulihkan kekayaan negara akibat kerugian dari tindak pidana korupsi.

“Dilakukannya juga Pertimbangan Hukum oleh JPN kepada Negara atau Pemerintah dalam bentuk Legal Opinion (LO/Pendapat Hukum) dalam bentuk tertulis sesuai dengan fakta hukum dari permasalahan hukum perdata dan tata usaha negara atas permintaan dan kepentingan negara atau Legal Assistance (Pendampingan Hukum) dan diakhiri dengan kesimpulan dari pendapat hukum dan/atau Audit Hukum (Legal Audit) di Bidang Perdata,” tutur Dr. Muhammad Yusuf.

Selain itu, ia menyampaikan terdapat paradigma baru dalam penindakan terhadap tindak pidana korupsi, yaitu menggugat pelaku tindak pidana korupsi dengan hukuman efek jera dengan membuat terpidana korupsi menjadi miskin, sehingga terpidana yang melakukan korupsi yang berdampak pada kerugian perkonomian negara dapat dikembalikan dan dihitung secara proposional.

Narasumber terakhir, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof. Achmad Busro menuturkan bahwa JPN dalam pengembalian keuangan dan/atau aset negara hasilnya cukup efektif tetapi belum optimal.

Dalam hal kinerja, JPN tampak mengembalikan keuangan dan/atau aset negara atas dasar kerugian keperdataan tampak lebih banyak diselesaikan melalui jalur non litigasi.

Berdasarkan hal tersebut, Prof. Achmad Busro menyampaikan konsep yang perlu dikembangkan untuk lebih mengoptimalkan kinerja JPN adalah melalui konsep hukum yang progresif dalam upaya mengembalikan keuangan dan atau aset negara hasil dari tindak pidana korupsi ataupun keperdataan.

“JPN bisa mengoptimalkan perannya dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan fasilitas dan sarana untuk menunjang kinerja JPN, membuatkan anggaran khusus untuk mengakomodir segala biaya operasional yang memadai dalam melaksanakan kegiatan JPN,” tuturnya.

Focus Group Discussion (FGD) Pusat Strategi Kebijakan Penegakan Hukum dengan tema “Strategi Keperdataan Guna Keberhasilan Pemulihan dan Pengembalian Kerugian Negara dalam Perspektif Peraturan Kejaksaan RI Nomor 7 Tahun 2021” hari pertama telah berjalan dengan baik dan lancar. *Kop.

Editor : Syamsuri.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version