Connect with us

RAGAM

HPN 2022 DAN JURNALIS SENIOR PENYEBAR HOAX

Published

on

Oleh : Supriyanto Martosuwito.

JAKARTA | KopiPagi : Krisis di Aleppo dimulai dari penyebaran foto hoaks.  Peperangan yang tak henti di Suriah yang berdampak pada jutaan kematian dan jutaan warga yang mengungsi dimulai dari gencarnya penyebaran foto dan informasi palsu. 

White Helmets yang berkedok relawan, menjadi pelaku penyebaran foto palsu itu – selain melakukan penjarahan ke warga sipil korban perang, sebagai kepanjangan tangan para jihadis.

Kini bibit bibitnya dimulai ditebar di sini. Di negeri kita. Pelakunya selain aktifis, politisi,  juga jurnalis veteran dari media terkemuka.

Supriyanto Martosuwito.

Apakah jurnalis dari media mainstream, atau alumni media besar, media profesional dan berpengaruh – jaminan kebenaran liputan dan tulisannya? Tidak sama sekali. Baik jurnalisnya maupun medianya bisa melakukan kesalahan fatal.  Bisa menyebarkan hoax.

Panitia Pulitzer di Amerika Serikat pun – yang puluhan tahun merawat tradisi profesionalitasnya – sempat kena tipu, kebobolan oleh liputan abal abal dari jurnalis media besar dan kredibel, hingga dinobatkan sebagai pemenang  dan menjadi skandal dunia.

Sisi baiknya,  mereka fair.  Mengakui kesalahan.  Meralat dan menyatakan kesalahannya secara terbuka.

Namun tidak demikian di sini. Jurnalis veteran yang belakangan ini berubah menjadi aktifis medsos, dengan kemampuan jurnalistiknya menanipulasi fakta yang menyesatkan. Misleading.  Menyebarkan hoaks dan tak mau mengaku.

Bukan hanya dunia jurnalistik dan sesama awak media, yang dirugikan dan menjadi korbannya -melainkan publik – yang resah akibat info palsu dan pembiaran beredarnya ujaran kebencian  kepada pemerintah yang sah.

Pernyataan provokatif yang menimbulkan kemarahan warga Kalimantan, tempo hari,  merupakan contoh aktual. Pelaku yang mencaci maki Menhan Prabowo dan menyebut Kalimantan sebagai “tempat jin buang anak” itu mengaku sebagai “jurnalis senior”,  pernah bekerja di media kredibel dan memegang kartu anggora PWI.

TERBARU, jurnalis senior sungguhan, alumni media majalah mingguan terkemuka di era Orde Baru dan Orde Reformasi, belakangan jadi oposan karena sebagian besar – bahkan nyaris semua postingannya – di instagram menyerang, melawan dan nyinyir pada pemerintah saat ini.

Postingannya yang anti istana negara tak tampak pada pemerintah sebelumnya. Dia sangat partisan. Pilih pilih tebu dan main kayu.

Semua informasi dan berita media lain yang berpotensi menyudutkan pemerintah pusat dia kutip dan di ekspos ulang dengan bumbu jurnalismenya untuk membangun opini menyesatkan.

Contohnya, ekspose foto seorang laki laki dipiting TNI dijaga polisi dan disuntik paksa.

Dalam video yang viral itu terlihat dua orang pria berseragam TNI dan Polri memegangi seorang pria. Kemudian ada pria lain menggunting baju yang dipegangi oleh pria berseragam TNI dan Polri tepat di bagian lengan lalu menyuntikkan sesuatu.

Si jurnalis senior ini di akun Instagrannya, menulis caption : “Vaksin paksa. Kalau meninggal setelah divaksin,  siapa bertanggung jawab. Cari kambing kambing hitam.”

Patut diduga dia mengutip dari postingan media Tiktok dengan narasi, yang sama:  “Seorang warga divaksin secara paksa oleh petugas. Dia dipegangi seorang Anggota TNI dan Polri”.

Fakta yang sebenarnya, pria yang dipiting itu adalah penderita gangguan jiwa (ODGJ) di Depok, yang mengamuk dan disuntik obat penenang. Tindakan itu atas laporan dan sepengetahuan keluarganya dan masyarakat sekitar.

Kejadian itu terjadi di sekitar wilayah Kelurahan Duren Mekar, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok. Dandim 0508 Depok, Kolonel. Inf. Aulia Fahmi, kemudian juga membuat bantahan dan penjelasan kronologi kejadian. Pelaku membawa pisau dan menbahayakan orang lain.

Alangkah jauh antara gambar yang tersaji, dengan keterangan text, tulisan yang dipostingnya. Jelas sekali penggiringan opini yang menyesatkan.

Selain itu sosok pengurus PBSI juga melakukan provokasi dengan gambar yang sama : “Cara vaksin model baru anti Omicron yang dilkukan pemerintah joko bin dzalim banget”

“Fakta yang terjadi di negara demokrasi pancasila” #CabutMandatory dari akun aktivis anti pemerintah lainnya. Sejauh ini, tidak ada ralat dilakukan. Ada kesengajaan info menyesatkan itu beredar luas. Baik postingan yang dihapus maupun yang masih sudah discreenshot dan diungkap netizen.

AKAN TETAPI semangat netizen yang membongkar fakta dengan jejak digital yang tak terhapus- kurang mendapat tanggapan dari aparat kepolisian. Aparat terkesan lambat bertindak. Padahal, pasal pasal di UU ITE maupun pidana sudah terpenuhi dan sudah dilaporkan pada akun akun kepolisian. Bahkan kepada Kapolri. Tapi hamba kita tetap adem ayem.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Bahasa sederhananya : dilarang menyebarkan hoax!  Ada pasalnya, ada pidananya.

Memang, sejak 2015, para aktifis pernah menolak pasal itu karena menganggapnya sebagai “pasal karet”. Bisa dipakai negara untuk membungkam kritik.

Namun, menurut Menkoinfo masa itu, “Chief” Rudiantara, pasal tersebut sebenarnya memiliki peran besar dalam melindungi transaksi elektronik khususnya di dunia maya. Hanya saja dalam penerapannya sering terjadi kesalahan.

“Yang salah bukan pasal 27 ayat 3-nya, melainkan adalah penerapan dari pasal 27 ayat 3 tersebut,” ujarnya.

Esensi pasal tidak berubah dan tidak boleh berubah – tegas Chief Rudi.

Jika pasal tersebut dihilangkan, efek jera terhadap para pelanggar hukum akan hilang, tegas Rudiantara di sela-sela acara “Dialog Kemerdekaan Berekspresi di Media Sosial Indonesia”, di Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta,  pada 3 Februari 2015 silam.

Orang-orang tak boleh seenaknya mengungah foto dan video hoax – yang merugikan orang lain dengan informasi yang keliru dan di luar konteks. Sungguh berbahaya.

Dalam hal ini, foto “TNI memiting warga” dengan caption “vaksin paksa” memenuhi unsur UU ITE dan pidana.

Meski kami sama sama veteran jurnalis,  saya tak ragu mendorong sesama jurnalis senior yang membikin hoax dan menyebarkan informasi menyesatkan ke jalur hukum. Saya ingin menjaga marwah profesi saya.

Yang mendesak adalah pengakuan  bersalah, ralat dan permintaan maafnya.

Tak ada negara tertib dan sejahtera tanpa penegakkan hukum yang tegas. Ciri ciri negara maju adalah penegakkan hukum, tanpa kecuali.

Wartawan dan mantan wartawan tidak kebal hukum. Wartawan bukan warga klas 1. Bukan bagian dari VIP.

Momentum Hari Pers Nasional 2022 ini harus menjadi kebangkitan bagi pers kita semua untuk terus menjaga marwah dan merawat profesionalitas.

Dewan Pers dan PWI harus terus menjaga marwah kewartawanan dengan membersihkan oknum oknum yang mengatasnamakan pers – menggunakan cara kerja pers – untuk membangun opini kebencian dengan mengedarkan informasi keliru.

Dia harus bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan perbuatannya : menyesatkan publik dan merugikan masyarakat. ***

Exit mobile version