Oleh: Alip Purnomo
JAKARTA | KopiPagi : Konon anak-anak wajib belajar. Begitu juga Raihana, anak perempuanku, dia bersemangat untuk belajar di salah satu sekolah negeri di bilangan Cakung. Sayangnya jarak sekolah dengan rumah agak jauh, dan musti melewati lampu merah yang tidak selalu lancar. Sesekali dia terlambat.
Pagi tadi dia terlambat. Anak-anak lain sudah berkumpul di halaman sekolah untuk mengikuti kegiatan pembiasaan. Sebenarnya acara belum dimulai. Tapi gerbang sudah terlanjur ditutup. Raihana dan beberapa anak yang lebih kecil dilarang masuk ke sekolah. Mereka divonis terlambat. Anak-anak dipaksa menunggu di luar sekolah, di pinggir jalan umum.
Kalau dilihat dari dalam sekolah, anak-anak tersebut seperti para tersangka yang menantikan nasib dari balik jeruji besi. Mungkin pihak sekolah malah bahagia dengan visual menyedihkan begini, sehingga perlu mempertahankan ritual model kuno tersebut di era sekolah merdeka saat ini.
Beberapa anak nampak mulai jenuh. Ada yang lelah lalu berjongkok. Ada yang beberapa kali menguap kebosanan. Ada yang iseng main sendiri atau mengusili teman. Nampak semua tak berdaya dengan aturan yang ditetapkan kepala sekolah. Saya pernah protes tapi tak mendapatkan respon positif. Pastinya banyak rasa yang berkecamuk dan tak terungkap baik bagi anak didik atau pun orang tua atau bahkan beberapa guru yang berperasaan tapi tak berani melawan titah kepala sekolah. Konon semua aturan tersebut dijalankan sekolah demi menjadikan siswa disiplin.
Pada masa sebelumnya, meskipun anak-anak terlambat, mereka masih bisa mengakses halaman sekolah. Mereka yang terlambat akan dibariskan tersendiri, tidak bergabung dengan yang datang lebih awal. Meskipun terlambat, mereka masih bisa menyimak materi yang disampaikan oleh guru atau kepala sekolah dalam orasi paginya.
Hari ini, anak-anak tak lagi bisa mengakses halaman sekolah, alih-alih menyimak materi pembiasaan. Mereka menjadi terhukum, dan berada dalam zona beresiko di luar sekolah. Padahal semestinya halaman sekolah bisa menjadi tempat yang aman bagi mereka ketimbang di pinggiran jalan. Sayangnya sekolah secara sengaja menghalangi anak-anak mendapatkan akses tersebut. Memang tidak lama, tapi berbagai macam potensi kejahatan bisa saja terjadi dalam waktu singkat tersebut.
Sebagian anak ke sekolah diantar orang tua. Diantara orang tua ada yang dengan penuh kesadaran menunggu sampai gerbang dibuka. Namun sebagian yang lain hanya diantar lalu ditinggalkan (karena orang tua mungkin harus bekerja). Beberapa anak lain naik ojol, lalu ditinggal begitu saja. Yang lain lagi berangkat mandiri dengan naik sepeda atau jalan kaki karena mungkin rumahnya dekat dengan sekolah.
Dahulu sekolah rajin memajang jargon: “Sekolah Ramah Anak” dalam spanduk. Namun hari ini di sekolah Raihana sepertinya sudah tidak ada lagi. Entah karena spanduknya sudah usang, atau memang tulisannya hendak diganti menjadi: “Sekolah Super Disiplin”. ***