Connect with us

HUKRIM

Putusan Dewas KPK Dinilai Lembek : Seharusnya Lili Pintauli Siregar Dipecat

Published

on

KopiPagi | JAKARTA : Dewan Pengawas (Dewas) KPK dalam sidang etik telah memutuskan bahwa Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar bersalah melanggar etik. Untuk itu yang bersangkutan dijatuhi sanksi pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan.

Menanggapi putusan itu, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai bahwa putusan Dewas belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Seharusnya Lili Pintauli Siregar dipecat dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, Lili terbukti bersalah karena berkomunikasi dengan Walikota Tanjungbalai M Syahrial yang terjerat kasus di KPK.

“Putusan Dewas KPK dirasakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena semestinya sanksinya adalah permintaan mengundurkan diri, atau bahasa awamnya pemecatan,” kata koordinator MAKI Boyamin Saiman, Senin (30/08/2021).

Boyamin meminta Lili untuk mengundurkan diri saja. Dia bilang keputusan itu perlu dilakukan untuk menjaga kebaikan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Pengunduran diri Lili Pintauli Siregar adalah menjaga kehormatan KPK. Karena jika tidak mundur maka cacat atau noda akibat perbuatannya yang akan selalu menyandera KPK, sehingga akan kesulitan melakukan pemberantasan korupsi,” kata dia.

Boyamin mengatakan dirinya masih mengkaji untuk melaporkan Lili ke Badan Reserse Kriminal Polri berdasarkan Pasal 36 UU KPK. “Opsi melaporkan perkara ini ke Bareskrim berdasar dugaan perbuatan yang pasal 36 UU KPK masih dikaji berdasar putusan Dewas KPK yang baru saja dibacakan,” kata dia.

Dewas KPK memutuskan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar bersalah dalam sidang etik pada perkara Walikota Tanjungbalai. Dewas memberikan sanksi berupaya pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan mengatakan, Lili melanggar dua hal, yakni menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan seseorang yang sedang diperiksa perkaranya oleh KPK.

“Itu merupakan suatu pelanggaran etik yang dirumuskan dalam pakta integritas KPK,” ujar Tumpak, Senin (30/08/2021). Lili disebut telah melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf b dan a dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.

Putusan Dewas Dinilai Lembek

Sementara itu, Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai putusan Dewas KPK dinilai terlalu lembek terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli yang terbukti melanggar kode etik.

Lili dijatuhi sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan usai terbukti melanggar kode etik KPK berhubungan dengan pihak yang berperkara dengan lembaga antirasuah tersebut.

Sanksi ini sangat ringan, apalagi hanya pemotongan gaji pokok. Sebagai informasi, gaji pokok wakil ketua KPK hanya bagian kecil dari total penghasilan yang diterima setiap bulan,” kata Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman dalam keterangannya, Senin (30/08/2021).

Zaenur membeberkan, gaji pokok Wakil Ketua KPK berkisar Rp4,6 juta sementara untuk THP (take home pay) sekitar Rp89 juta per bulannya. Menurutnya, potongan gaji pokok tidak banyak berpengaruh terhadap pengahasilan bulanan.

Zaenur melanjutkan, semestinya sanksi yang layak dan tepat dijatuhkan kepada Lili adalah diminta mengajukan pengunduran diri sebagai Pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 4 huruf b Perdewas 02/2020.

“Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan yakni berhubungan dengan pihak berperkara,” tegasnya.

Tak cuma melanggar kode etik, menurut Zaenur, perbuatan Lili merupakan perbuatan pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU 30/2002 jo Uu 19/2019 tentang KPK.

Pasal tersebut, kata Zaenur, melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak berperkara dengan alasan apapun. Berdasarkan Pasal 65 UU KPK, pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam pidana maksimal 5 tahun bui.

“Mengapa berhubungan dengan pihak berperkara menjadi perbuatan terlarang di KPK? Karena dapat menjadi pintu masuk jual beli perkara atau pemerasan oleh insan KPK,” jelasnya.

Dia mengambil contoh yang pernah dilakukan eks penyidik KPK Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman atau eks penyidik KPK AKP Stepanus Robin Pattuju.

Menurutnya, perkara menjadi rawan bocor kepada pihak luar jika ada hubungan antara insan KPK dengan pihak yang berperkara. Imbasnya, KPK akan kesulitan menangani perkara tersebut. Bahkan perkara bisa berujung gagal diusut.

“Putusan lembek oleh Dewas ini bisa berakibat buruk bagi KPK. Pertama, akan semakin menggerus kepercayaan publik terhadap KPK,” turur Zaenur.

Zaenur pun beranggapan nama-nama besar yang didapuk jadi Dewas tidak menjamin akan menerapkan prinsip zero tolerance terhadap pelanggaran di internal KPK.

“Putusan lembek oleh Dewas ini menunjukkan sikap permisif dan toleran di internal KPK. Ke depan insan KPK tidak akan terlalu takut lagi melakukan pelanggaran, karena Dewas tidak keras terhadap pelanggaran,” keluhnya.

Pihaknya pun berharap ke depan akan ada pihak masyarakat yang bersedia melaporkan dugaan pelanggaran pasal 36 UU KPK kepada aparat penegak hukum untuk diproses secara pidana.

Majelis Etik Dewan Pengawas KPK menyatakan Lili terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak berperkara.

Ia dinilai terbukti melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf b dan Pasal 4 ayat 2 huruf a Peraturan Dewan Pengawas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.

Lili dinilai terbukti memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan M. Syahrial guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatini Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.  *Kop.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright © 2024 Koran Pagi Online - koranpagionline.com