Connect with us

HUKRIM

Menunggu Sejarah Putusan MKMK : Mungkinkah Cawapres Gibran Dibatalkan

Published

on

JAKARTA | KopiPagi : Kewibawaan Mahkamah Konstitusi saat ini berada pada titik nadir. Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu pun menuai gugatan dari berbagai elemen masyarakat.

Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Sontak, putusan tersebut berbuntut panjang, dan digugat beramai-ramai para mahasiswa, dosen, pakar hukum dan organisasi-organisasi profesi hukum dan pengawal hukum ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dibentuk pada Senin 23 Oktober 2023

Putusan yang dipimpin langsung Ketua MK, Anwar Usman tersebut sangat kontroversial karena keputusan pertama ini dibuat dalam dinamika momentum Pilpres 2024. Kedua, dugaan kuat terkait dengan kepentingan anak presiden dalam hal ini Gibran Rakabumi Raka (36 tahun).

Lalu, ketiga, yang lebih ironis lagi keputusan tersebut melibatkan paman Gibran yaitu ketua MK Anwar Usman.

Banyaknya gugatan dan juga tuntutan politik dan masyarakat, setidaknya ada 21 laporan dugaan pelanggaran kode etik semua hakim MK ke MKMK yang dipimpin Prof Jimly Asshiddiqie dengan dua anggota, Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih.

MKMK, lembaga bersifat ad hoc diberi waktu satu bulan, sejak 24 Oktober hingga 24 November 2023. MKMK bekerja cepat dan secara maraton memeriksa dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim konstitusi. Khusus Ketua MK, Anwar Usman diperiksa dua kali.

Untuk menjawab rasa keadilan masyarakat secara umum, rencana MKMK akan membacakan putusan pada Selasa (07/11/2023), tepat sehari sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menutup jadwal pendaftaran Capres dan Cawapres pada Kamis (09/11/2023).

Beragam komentar pun bermunculan, pro dan kontra di media, medsos hingga di warung-warung kopi dari masyarakat biasa, para politikus hingga para pakar hukum.

Ada yang mengatakan bahwa keputusan MK itu final dan mengikat dan MKMK hanya tidak bisa membatalkan hasil putusan MK dan hanya bersifat putusan etik hakim saja.

Pakar Hukum sekaligus Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan menegaskan bahwa putusan MK final dan mengikat dan tidak bisa dibatalkan MKMK.

“Hal itu berarti putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan MK tersebut harus dilaksanakan terlepas dari adanya pro dan kontra. Putusan MK berlaku bagi semua orang (erga omnes),” terang Ketua, Sabtu (04/11/2023).

Pakar hukum Universitas Soedirman (Unsoed) Fauzan mengatakan MKMK bisa membatalkan putusan perkara MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas usia capres-cawapres.

Ada dua mekanisme yang bisa dilakukan MKMK untuk membatalkan keputusan tersebut, bisa langsung atau tidak. Pertama bisa oleh MK sendiri atas perintah MKMK atau kedua, keputusan oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik.

Tupoksi MKMK memang menjaga keluhuran dan martabat hakim MK. Namun, jika ternyata para hakim terbukti dengan sah dan berjanji telah melakukan pelanggaran kode etik, maka keputusan yang diambil tidak memiliki legitimasi secara moral.

“Dengan pertimbangan moralitas itu, putusan yang diputuskan oleh hakim telah terbukti melanggar kode etik yang sifatnya tidak mengikat. Jika ini menjadi pertimbangan, bisa saja MKMK ada kemungkinan keluar dari pakem hukum tata negara positif. Jadi, jika terbukti melanggar kode etik, maka kekuatan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dapat dibatalkan,” jelasnya.

Pakar hukum tata negara sekaligus advokat Denny Indrayana menyetujui agar MKMK tidak hanya menjatuhkan sanksi etik kepada Ketua MK Anwar Usman, melainkan juga membatalkan produk yang memutuskan MK.

Denny menegaskan, pelanggaran Ketua MK Anwar Usman tidak hanya kode etik, melainkan produk hukum.

“Saya tetap berasumsi bahwa MKMK harus memberikan ruang kepada permohonan saya untuk tidak hanya memberikan sanksi etik kepada Anwar Usman, tapi konsekuensi juga terhadap putusan 90,” kata Denny dalam diskusi berani pengawasan dari Jakarta, Sabtu (04/11/2023).

Denny punya dua argumentasi mengapa MKMK juga harus membatalkan Putusan Nomor 90 itu. Pertama, ia sudah melaporkan dugaan pelanggaran kode etik Anwar Usman ke MKMK dua bulan sebelum MK membacakan putusan.

“Jadi sebelum (putusan nomor 90 itu) final dan mengikat, saya sudah menyampaikan ini keputusan akan bermasalah. Setelah pembacaan dibacakan lalu dikatakan ‘maaf putusan sudah final dan mengikat, tidak bisa diganggu gugat’, ya jangan begitu dong,” ujarnya.

Argumentasi kedua, sebuah kesimpulan yang dalam proses penyusunannya pelanggaran kode etik seharusnya dibatalkan.

Denny memahami bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak bisa diganggu gugat. Kendati begitu, pada setiap prinsip hukum selalu ada yang diturunkan, yang salah satunya adalah ketika terjadi pelanggaran etik dalam penyusunan putusan.

“Dalam setiap prinsip itu harus ada pengecualian. Selalu ada menerapkan prinsip hukum,” kata Denny.

Ia mengakui, selama ini, belum pernah MKMK sebagai mahkamah etik membatalkan keputusan MK. Pasalnya, selama ini belum pernah terjadi kasus pelanggaran etik seperti yang terjadi pada putusan MK Nomor 90.

Kendati demikian, Denny menyebut, etika kepemiluan, yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pernah menjatuhkan sanksi etik kepada KPU sekaligus menjatuhkan sanksi terhadap hasil penyelenggaranya. Putusan tersebut dibuat ketika DKPP diketuai Prof Jimly Asshiddiqie.

Kasus yang hampir serupa terkait pelanggaran etika dan melampaui batas kewenangan hakim, juga pernah terjadi saat pemenangan Pilkada Depok 2005.

Keputusan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat (Jabar) mencederai rasa keadilan masyarakat secara umum.

Yang mengejutkan, Ketua Majelis Hakim PT Jabar Nana Juwarna menganulir kemenangan hasil Pilkada pasangan Nur Mahmudi-Yuyun dan ‘menghadiahi’ kemenangan untuk pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin.

Putusan hakim PT Jabar terkait penyelesaian final Pilkada dan penegakan laporan tersebut ke Komisi Yudisial (KY).

Hasil pemeriksaan putusan, Ketua KY Prof Busyro Muqodda menemukan bukti majelis hakim PT Jabar telah keliru dalam memeriksa dan mengadili penyelesaian Pilkada Depok.

KY menyimpulkan, majelis hakim telah melakukan tindakan yang tidak profesional (unprofesional behavior) dan melampaui izin, baik secara formil dan materiil.

KY juga mengeluarkan rekomendasi dengan rekomendasi kepada Mahkamah Agung (MA) agar Ketua Majelis Hakim PT Jabar, Nana Juwana, dihentikan sementara selama satu tahun dan empat anggota majelis direkomendasikan untuk dikenakan sanksi tegas tertulis.

PT Jabar dianggap melampaui kewenangan yang sudah dibatasi oleh UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan sekaligus membatalkan keputusan penyelesaian Pilkada Depok 2005 yang memutuskan PT Jabar 4 Agustus 2005.

Keputusan MKMK pada Selasa 7 November 2023 diharapkan dapat mengembalikan marwah MK dan menjamin keberlangsungan demokrasi yang sehat. Akankah MKMK akan membuat sejarah? *D-tren/Kop.

Exit mobile version