Connect with us

NASIONAL

Dr Bambang Soesatyo, SH, SE, MBA : Ajak Profesi Dokter Perdalam Ilmu Hukum

Published

on

JAKARTA | KopiPagi : Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka, Dr Bambang Soesatyo, SH, SE, MBA mengajak para dokter untuk turut memperdalam ilmu hukum.
Hal itu, kata Bamsoet sapaan akrabnya, mengingat dalam menjalankan profesinya, tanggungjawab dokter dalam hukum sangat luas. Sehingga dokter juga harus mengerti dan memahami berbagai ketentuan hukum yang berlaku.
Bamsoet juga mengusulkan agar dalam Omnibus Law RUU Kesehatan yang sedang dibahas pemerintah dan DPR RI, selain memberikan perlindungan hukum terhadap rumah sakit, juga turut memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan/tenaga medis sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat atau pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.
“Terutama agar setiap tindakan yang diambil oleh tenaga kesehatan/tenaga medis, tidak langsung dihadapkan pada peradilan pidana. Melainkan misalnya bisa diselesaikan terlebih dahulu melalui majelis etik maupun peradilan khusus sengketa kesehatan dengan mengedepankan mediasi antara tenaga kesehatan/tenaga medis dengan pasien (terlapor dan pelapor),” ujar Bamsoet saat menjadi penguji Seminar Hasil Penelitian Disertasi dengan judul ‘Pertanggungjawaban Hukum Dokter Spesialis yang Tidak Memiliki Kompetensi Penyebab Kematian dan Morbiditas Pada Pasien’, yang disusun oleh Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dr. Prasetyo Edi, di Universitas Borobudur, Jakarta, Kamis (13/04/2023).
Hadir menjadi penguji antara lain, Penguji I Dr. Ahmad Redi, Promotor Prof. Faisal Santiago, dan Co-Promotor Dr. St. Laksanto Utomo.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dalam pasal 66 ayat (1) UN No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin kedokteran Indonesia.
Namun dalam ayat (3) menyebutkan bahwa, pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
“Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia pada tahun 2015 lalu pernah mengajukan judicial review terhadap pasal 66 ayat (3) tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun MK memutuskan menolaknya. Dasar IDI mengajukan judicial review lantaran keberadaan pasal 66 ayat (3) tersebut dianggap dapat menimbulkan defensive medicine yang sangat merugikan masyarakat, yakni tenaga medis/tenaga kesehatan hanya memilih pasien yang memiliki kemungkinan besar untuk sembuh atau dapat diselamatkan. Serta takut melakukan pertolongan terhadap pasien gawat darurat yang memiliki kemungkinan kecil bisa diselamatkan karena khawatir digugat atau dituntut secara hukum oleh masyarakat atau pasien. Melalui Omnibus Law RUU Kesehatan, diharapkan pemerintah dan parlemen dapat mencari solusi atas permasalahan ini,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, dalam penelitian tersebut juga menyoroti teknik kedokteran yang selalu berkembang sebagai bagian dari kemajuan teknologi. Sehingga diperlukan pengaturan undang-undang spesifik yang membahas tentang perkembangan teknik kedokteran dalam membantu proses pengobatan pasien, untuk memastikan perkembangan pemanfaatan teknik kedokteran agar sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai luhur etika kedokteran berdasarkan Kode Etik Kedokteran dan Sumpah Dokter.
“Pengaturan yang diatur tersebut misalnya, pengesahan teknik kedokteran yang dapat digunakan dalam praktik kedokteran, persyaratan teknis penggunaan teknik kedokteran, persyaratan administrasi dalam penggunaan teknik kedokteran, kualifikasi dokter yang dapat menggunakan teknik kedokteran tersebut, pengawasan dalam penggunaan teknik kedokteran, batasan wewenang dokter dalam menggunakan teknik kedokteran dalam pengobatan pasien serta mengembangkan kebijakan dan prosedur administratif dalam kaitannya menggunakan teknik kedokteran,” pungkas Bamsoet. *Kop.
Bamsoet Usulkan : Pembentukan Pengadilan Khusus Tangani Sengketa Kesehatan
JAKARTA | KopiPagi : Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen FHISIP Universitas Terbuka Dr Bambang Soesatyo, SH, SE, MBA mengusulkan adanya pengadilan khusus yang menangani sengketa kesehatan (medik) antara tenaga kesehatan/tenaga medis dengan pasien. Sebagaimana pengadilan khusus pajak, pengadilan khusus anak dan lainnya.
Pasal 29 UU No.36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Namun bagaimana upaya mediasinya, belum diatur lebih lanjut.
“Dalam pembahasan Omnibus Law RUU Kesehatan yang akan menggabungkan sekitar 13 UU yang berkaitan dengan kesehatan, pemerintah dan DPR bisa mengkaji lebih dalam tentang hadirnya peradilan khusus sengketa kesehatan dengan mengedepankan semangat mediasi. Sehingga penyelesaian sengketa kesehatan tidak harus diselesaikan secara pidana di jalur pengadilan umum,” ujar Bamsoet saat menjadi penguji Seminar Hasil Penelitian (SHP) disertasi Penegakan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Upaya Mediasi, disusun oleh Kolonel dr.Amin Ibrizatun, dokter di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, di Universitas Borobudur, Jakarta, Kamis (13/04/2023).
Hadir antara lain, Ketua Sidang sekaligus Penguji I Prof Faisal Santiago, Promotor Prof. Abdulah Sulaiman, dan Co-Promotor Dr. Megawati Barthos.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, pada dasarnya dalam penyelesaian sengketa terdapat dua bentuk, yakni di luar pengadilan (non litigasi) dan melalui pengadilan (litigasi). Terkait penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pemerintah dan DPR telah membentuk UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menegaskan bahwa sengketa dapat diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan secara litigasi.
“Dalam pengadilan atau litigasi pun, pengadilan tetap berupaya memediasi sebagaimana diatur dalam Perma No.1 Tahun 2016. Karena itu, prinsip mediasi dalam penyelesaian sengketa kesehatan melalui peradilan khusus kesehatan haruslah mengedepankan musyawarah mufakat, yang merupakan bagian dari nilai luhur bangsa yang terkandung dalam Pancasila,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, sepanjang dekade 2016-2019 tercatat dari berbagai sumber, jumlah sengketa kesehatan di peradilan umum mencapai 362 kasus. Di tahun 2020 meningkat menjadi 379 kasus. Berbagai sengketa tersebut bahkan masih ada yang belum bisa diselesaikan di meja pengadilan umum.
“Melalui terobosan mediasi, berbagai sengketa kesehatan tersebut bisa cepat mendapatkan kepastian hukum baik bagi pelapor maupun terlapor. Sekaligus menjadi perlindungan bagi tenaga kesehatan/tenaga medis agar dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, mereka tidak lagi dihadapkan pada masalah hukum pidana sebelum adanya mediasi yang dilakukan melalui peradilan khusus sengketa kesehatan,” pungkas Bamsoet. *Kop.

Exit mobile version