Connect with us

HUKRIM

Putusan Kasus Mantan Bupati Merauke, Sudah 10 Tahun Belum Dieksekusi Kejati

Published

on

Direktur Indonesia Anti Corruption Network Igrissa Majid.. Ist

JAKARTA | KopiPagi : Selama 10 Tahun Kejaksaan Tinggi Papua, dinilai sengaja menunda eksekusi terhadap Putusan Nomor 26 /Pid. Sus-TPK/2014/PT JAP terkait Kasus mantan Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze. Terdakwa yang terlibat korupsi pengadaan Souvenir Kulit Buaya di Pemkab Merauke ini telah dijatuhi hukuman penjara 1 tahun di PN Klas IA Jayapura.

Terdakwa mantan Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze terseret dalam kasus korupsi Pengadaan barang dan jasa berupa Souvenir Kulit Buaya di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Merauke tahun anggaran (TA) 2006-2010. Namun putusan tinggallah putusan dan eksekusinya terkatung-katung. Pasalnya, mantan Bupati Merauke periode 2006-2010 ini masih terlihat beraktivitas seperti biasa, bahkan bebas bepergian dari Merauke-Jakarta. 

Seperti diektahui, kasus ini bermula sejak 2006 di mana Terdakwa selaku Bupati Kabupaten Merauke membuat kebijakan untuk memberikan Souvenir Kulit Buaya kepada para tamu dari luar dengan tujuan untuk mempromosikan Kabupaten Merauke. Pemberian souvenir tersebut dilakukan dengan cara mengeluarkan perintah pemesanan baik secara lisan maupun tulisan berupa disposisi yang ditujukan kepada pengrajin souvenir kulit buaya melalui Terdakwa tanpa proses lelang.

Disposisi Terdakwa Johanes Gluba Gebse tersebut selanjutnya diserahkan kepada sopirnya untuk ditindaklanjuti dengan masa berlaku selama satu tahun lamanya, yang sumber anggarannya dibebankan kepada Anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke. 

Namun ironisnya, pada tahun yang sama (2006) Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke secara resmi tidak menganggarkan dana untuk pengadaan Souvenir Kulit Buaya untuk para tamu yang datang, sehingga Terdakwa sendiri menyampaikan kepada pengrajin bahwa setiap pengambilan paket souvenir tidak dapat dilakukan pembayaran secara langsung karena harus menunggu apabila tersedia dana baru akan dibayarkan. Hal ini terus ditunda hingga lima tahun lamanya.

Dan anehnya, Terdakwa membuat kebijakan yang menginstruksikan kepada Sekretariat Daerah cq. Bagian Umum/Bagian Keuangan untuk tidak melakukan pencatatan dan/atau melaporkan utang Pemda Kabupaten Merauke tahun anggaran 2006 s/d 2009 pada laporan keuangan Pemda Kabupaten Merauke atas pengambilan Souvenir Kulit Buaya.

Adapun jenis Souvenir Kulit Buaya tersebut diberikan dalam sistem paket, yaitu setiap tamu memperoleh satu paket yang isinya berupa koper pakaian, tas wanita, dompet pria-wanita, dan ikat pinggang dengan jumlah harga dalam Nota yang ditentukan oleh pengrajin berkisar antara Rp.10.000.000,00,- (sepuluh juta rupiah) s/d Rp.11.000.000,00,- (sebelas juta rupiah) per paket dengan pembayaran di kemudian hari alias tergolong sebagai utang. 

Total souvenir yang dibuat oleh para pengrajin selama kurun waktu 2006-2010 sebanyak 9.263 buah. Kemudian tepat pada 2010, pembayaran pengadaan Souvenir Kulit Buaya kepada pengrajin baru direalisasikan berdasarkan 67 (enam puluh tujuh) Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) senilai Rp.20.649.667.500,- (dua puluh milyar enam ratus empat puluh sembilan juta enam ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus rupiah). 

Kemudian dari total nilai tersebut di atas dipotong PPN dan PPH sehingga tersisa Rp.18.490.838.625,- (delapan belas milyar empat ratus sembilan puluh juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu enam ratus dua puluh lima rupiah)  yang dilampirkan dalam dokumen pembayaran yang dibuat di Bagian Umum Setda Kab. Merauke secara formalitas.

Pembayaran tersebut menggunakan dana yang bersumber dari DPA–SKPD Setda Kabupaten Merauke dari Pos Mata Anggaran Belanja Penunjang Tugas Pemerintahan, sebesar Rp.56.370.325.968,- (lima puluh enam milyar tiga ratus tujuh puluh juta tiga ratus dua puluh lima ribu sembilan ratus enam puluh delapan rupiah) sebagaimana tertuang dalam DIPA Pemerintah Daerah Merauke.

Namun selama proses pembayaran, berdasarkan SPM dari Pengguna Anggaran, Bendahara Umum Daerah dan Kuasa Bendahara Umum Daerah Kabupaten Merauke menerbitkan SP2D yang tidak mencantumkan nomor rekening bank atas nama pengrajin, dan selaku Kuasa Bendahara Umum Daerah menolak untuk menerbitkan surat tersebut meskipun terdapat persyaratan yang tidak dilengkapi berupa surat pernyataan tanggung jawab Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. 

Pelanggaran Hukum

Adapun pelanggaran hukum yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Undang-undang Nomor: 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Pasal 3 Ayat (3);

Peraturan Pemerintah Nomor: 58 Tahun 2005 Pasal 54 Ayat (1);

Permendagri Nomor: 13 Tahun 2006 Pasal 216 Ayat (5) dan Ayat (7);

Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (1), Pasal 19 Ayat (2);

Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 1 butir 10, dan Pasal 3 ayat (3); Pasal 6 ayat (2) butir c, Pasal 9 Ayat (2), Pasal 15 Ayat (3), Pasal 18 Ayat (1), (2), dan Ayat (3);

Peraturan Pemerintah Nomor: 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 1 butir 59, Pasal 17 Ayat (1), Pasal 54 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 61 Ayat (1), Pasal 86 ayat (2), Pasal 99 Ayat (1) dan Ayat (4); Pasal 132, Pasal 133;

Keputusan Presiden RI Nomor: 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pasal 13 Ayat (1) poin b;

Keputusan Presiden Nomor: 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah, Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 3,  Pasal 9 Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6); dan Pasal 20;

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 4 Ayat (1), Ayat (2) Ayat (3), dan Ayat (4), Pasal 15 Ayat (3), Pasal 16 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 54, Pasal 79 Ayat (1), Pasal 122 Ayat (10), Pasal 132 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 184 Ayat (2) Pasal 216 Ayat (1), Ayat (5);

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 59 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 52 Ayat (1), Pasal 50, Ayat (2);

Peraturan Daerah Kabupaten Merauke Nomor: 2 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 4 Ayat (1), Pasal 70 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 77 Ayat (1), Pasal 102 Ayat (1), dan Ayat (2).

Kepres Nomor: 42 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam pasal 13 Ayat (1) 

Hasil Audit

Berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksaan Keuangan Provinsi Papua  Nomor: SR-693/PW26/5/2013 tanggal 18 April 2013 Perihal : Laporan Hasil Audit dalam Rangka Penghitungan, menyatakan bahwa pengadaan Souvenir Kulit Buaya pada Sekretariat Daerah Kabupaten Merauke Tahun Anggaran 2006 s/d 2010, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.18.490.838.625,- (delapan belas milyar empat ratus sembilan puluh juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu enam ratus dua puluh lima rupiah), yang melibatkan Terdakwa Johanes Gluba Gebze bersama beberapa Terdakwa lainnya.

Putusan Hakim Tingkat Pertama

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura telah menjatuhkan putusan pidana sebagaimana dalam perkara Nomor: 71/Tipikor/2013/PN.Jpr tanggal 24 April 2014, yang amar putusannya adalah :

Menyatakan Terdakwa Johanes Gluba Gebze tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Dakwaan Primair;

Membebaskan Terdakwa Johanes Gluba Gebze dari Dakwaan Primair tersebut;

Menyatakan Terdakwa Johanes Gluba Gebze telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama-sama“;

Menjatuhkan Pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama: 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama: 2 ( dua) bulan;

Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Meski demikian, dalam putusan ini terdapat dissenting opinion antar Majelis Hakim.

Amar Putusan Tingkat Banding

Kemudian, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura telah menerima banding keduanya: Penuntut Umum telah menyatakan banding pada tanggal 29 April 2014, dan Penasihat Hukum Terdakwa juga telah menyatakan banding pada tanggal 30 April 2014.

Baik memori banding antara Penuntut Umum dan Kuasa Hukum Terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura dengan saksama memberi alasan dan pertimbangan hukum yang tepat, dan mengabulkan permintaan banding Penuntut Umum serta menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura Nomor: 71/Tipikor/2014/PN.Jpr. tanggal 24 April 2014.

Pasca Putusan

Setelah dijatuhi hukuman, Kejaksaan Tinggi Papua justru tidak melakukan eksekusi terhadap Johanes Gluba Gebze dan membiarkannya berdiam di Kabupaten Merauke. Johanes juga kerap terlihat bepergian keluar daerah, seperti ke Jayapura hingga Jakarta. 

Terhitung sejak putusan dibacakan 2014 lalu, Johanes Gluba Gebze tampak beraktivitas seperti biasa, dan sering tampil di platform media sosial seperti Tiktok. Mantan Bupati dua periode ini kebal hukum dan sewenang-wenang terhadap sistem peradilan yang berlaku.

Belakangan ia juga aktif mensosialisasikan dirinya sebagai tokoh besar di Papua Selatan, sekaligus politisi senior Partai Golkar, seolah-olah tidak memiliki masalah hukum yang sedang menjerat dirinya. Bahkan Kejaksaan Tinggi Papua sejauh ini tidak melakukan tindakan apapun terhadap dirinya.

Pernyataan Sikap 

Merunut pada kronologi, dakwaan pasal, pertimbangan majelis hakim tingkat pertama maupun tingkat banding, dan setelah putusan dibacakan, Indonesia Anti-Corruption Network (IACN) menyatakan beberapa poin sebagai berikut :

Perbuatan Terdakwa Johanes Gluba Gebze merupakan perbuatan melawan hukum karena menolak untuk menjalani putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Kejaksaan Tinggi Jayapura sejauh ini tidak menjalani upaya apapun untuk menindaklanjuti putusan hakim Pengadilan Tinggi Jayapura, padahal secara tegas Majelis Hakim tingkat pertama maupun banding telah menyatakan bahwa Terdakwa Johanes Gluba Gebze harus tetap dipidana.

Sebagaimana dilansir MediaIndonesia.com sejak januari 2024 Kejaksaan Agung secara resmi mengatakan bahwa bersangkutan akan segera dieksekusi, tetapi harus melalui proses koordinasi dengan Kejaksaan Tinggi Papua, dan hingga saat ini tidak ada langkah apapun kepada Terdakwa.

Hal ini secara tidak langsung pihak Kejaksaan Tinggi telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena tidak sama sekali menjalani putusan sejak dibacakan Majelis Hakim yang menjadi dasar eksekusi, padahal sejak dibacakannya sebuah putusan secara otomatis sudah adanya ikatan hukum kepada Terdakwa yang terjerat perkara hukum.

Jaksa seharusnya tidak punya alasan apapun untuk menunda eksekusi karena perkara ini telah berlangsung sejak 10 tahun lalu, kecuali putusan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap atau belum memiliki hukum tetap atau ada upaya hukum lainnya.

Penundaan eksekusi yang sedemikian lama justru menunjukkan institusi kejaksaan sebagai representasi negara lemah dan tunduk terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Seharusnya kejaksaan selaku eksekutor langsung menjalankan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) sebagaimana pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP yang berbunyi: “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang  ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Kemudian huruf b dalam pasal yang sama juga menyatakan bahwa: “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”

Dalam pelaksanaan putusan kejaksaan sebagai penuntut umum juga harus segera melakukan penanahanan terhadap Terdakwa Johanes Gluba Gebze sebagaimana penegasan dari pasal-pasal perihal penahanan dalam KUHAP, termasuk petikan putusan pemidanan yang dapat menjadi alasan hukum eksekusi.

IACN menduga pihak Kejaksaan Tinggi Jayapura terpengaruh dengan hal-hal eksternal yang menghalangi penundaan eksekusi. Padahal sebagai lembaga penegak hukum Kejaksaan harus tetap bersikap independen dalam menjalankan tugas negara;

Untuk itu, IACN meminta Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi Papua untuk menyampaikan kepada publik secara terang-benderang terkait alasan hukum yang menguatkan Terdakwa sehingga sulit bagi pihak kejaksaan tidak menberanikan diri mengeksekusi Terdakwa Johanes Gluba Gebze. IACN mengingatkan bahwa, membiarkan Terdakwa Johanes Gluba Gebze atas kasus tindak pidana korupsi bebas beraktivitas akan menambah preseden buruk terhadap citra penegakan hukum di Indonesia, dan kami mendesak kepada Jaksa Agung St. Burhanudin selaku Jaksa Agung segera mengambil tindakan tegas. Demikian disampaikan, Igrissa Majid, S.H Direktur Indonesia Anti-Corruption Network. *Kop.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *