Beranda TIPIKOR Majelis Hakim Diminta Menolak Surat Dakwaan Kasus Korupsi PT Jiwasraya

Majelis Hakim Diminta Menolak Surat Dakwaan Kasus Korupsi PT Jiwasraya

245
0

KopiPagi, JAKARTA – Hary Prasetyo MBA, salah satu terdakwa kasus korupsi PT Jiwasraya, meminta majelis hakim Pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta menolak surat dakwaan jaksa lantaran keliru menerapkan pasal pidana dalam perkara tersebut.

“Dalam surat dakwaannya, jaksa tidak menguraikan secara  cermat, jelas, dan lengkap rumusan unsur-unsur tindak pidana berdasarkan pasal yang didakwakan dan tidak menguraikan perbuatan materieel yang didakwakan,” kata Hary Prasetyo melalui kuasa hukumnya, Rudianto Manurung SH MH CLA, dalam tanggapannya (eksepsi) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/06/2020).

Selain itu, kata Rudianto Manurung, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak berwenang secara absolut (kompetensi absolut) berdasarkan pada faktor perbedaan lingkungan peradilan sesuai Undang-Undang Kekuasan Kehakiman.

Menurut Rudianto, kewenangan/kompetensi absolut merupakan pemisahan kewenangan yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht).

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer; Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Umum diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum juncto Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012, di mana hingga saat ini tercatat ada 6 (enam) pengadilan khusus yang ada dilingkungan peradilan umum, yakni: Pengadilan Anak, kewenangan mengadili perkara anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

“Setelah membaca Surat Dakwaan, seharusnya kompetensi mengadili perkara a quo adalah Peradilan Umum yang menangani perkara pidana secara umum dan bukan pengadilan khusus tindak pidana korupsi, in casu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” jelasnya.

Rudianto menyebut, Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili kliennya, hal tersebut dapat telihat dengan jelas di halaman 3 –  4 Surat Dakwaan bahwa perbuatan Hary Prasetyo, MBA didakwa secara melawan hukum dengan ketentuan-ketentuan antara lain sebagai berikut: Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian; Pasal 8 ayat (1) huruf b dan c, Pasal 11, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 53/PMK.010/2012 tanggal 3 April 2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Pasal 11 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Pasal 59 dan Pasal 60 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 2/POJK.05/2014 tanggal 28 Maret 2014 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian; Pasal 18, Pasal 19 huruf a dan b, Pasal 20 huruf b dan c angka 1 dan angka 2 Peraturan OJK Nomor 43/POJK.04/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Pedoman Perilaku Manajer Investasi.

Pasal 58 Peraturan OJK Nomor 73/POJK.05/2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian;  Pasal 6 ayat (4) Peraturan OJK Nomor 71/POJK.05/2016 tanggal 28 Desember 2016 tentang Kesehatan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

“Dapat kami simpulkan terdakwa Hary  Prasetyo, MBA didakwa Tindak Pidana Perasuransian dan Tindak Pidana Pasar Modal. Bahwa UU Perasuransian secara tegas mengatur ketentuan pidana perasuransian pada Pasal 21 UU No.2 Tahun 1992 dan Pasal 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82 UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dimana kewenangan penyidikan perkara Tindak Pidana Perasuransian adalah Penyidik Polri, sebagaimana diatur Pasal 14 Ayat (1) huruf g UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, yang menyebutkan: Kepolisian Negara RI melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak Pidana sesuai dengan hukum acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya,” paparnya.

Selain itu dalam surat dakwaan terdakwa Hary Prasetyo didakwa melakukan tindak pidana pengelolaan investasi  Saham dan Reksadana PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) yang tidak transparan, tidak akuntabel, tanpa analisis, kepemilikan saham melampaui ketentuan Pedoman Investasi, melakukan transaksi pembelian dan/atau penjualan saham BJBR, PPRO, SMBR dan SMRU dengan tujuan mengintervensi harga, mengendalikan 13 manajer investasi dengan membentuk produk Reksa Dana khusus, dan lain sebagainya adalah pelanggaran dan kejahatan Pasar Modal sebagaimana di atur dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Penegakan hukum atas Pelanggaran Pasar Modal diatur Pasal 103 Ayat (2), Pasal 105 dan Pasal 109 dan Kejahatan Tindak Pidana Pasar Modal diatur Pasal 103 Ayat (1), 104, 106 dan 107 UU No.8 Tahun 1995, dimana Pasal 101 Ayat (2) UU No.8 Tahun 1995 menyebutkan penyidik tindak pidana pasar modal adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Tertentu dilingkungan BAPEPAM yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di Bidang Pasar Modal.

Terhadap Pelanggaran dan Kejahatan Pasar Modal, UU No. 8 Tahun 1995 menentukan 3 (tiga) macam Sanksi yaitu: Sanksi Perdata, vide Pasal 111 UU No. 8 Tahun 1995; Sanksi Pidana, vide Pasal 103 s/d 107 UU No. 8 Tahun 1995; Sanski Adminstratif, vide Pasal 63 jo Pasal 64 PP No.45 Tahun 1995 tentang Penyelengaraan Kegiatan di Pasar Modal.

“Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kewenangan Penyidikan perkara a quo adalah Kepolisian RI dan PPNS BAPEPAM (saat ini bernama PPNS OJK RI, berdasarkan UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK, terhitung mulai tanggal 31 Desember 2012) dan bukan kewenangan dari Penyidik Kejaksaan, dengan demikian perkara ini bukan termasuk ranah Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi tetapi Pengadilan Pidana Umum pada Pengadilan Negeri dimana tindak pidana itu dilakuan dalam daerah hukumnya vide Pasal 84 KUHAP,” tegasnya.

“Oleh karena itu Yang Mulia Majelis Hakim harus memeriksa terkait kewenangan absolut untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, sebab kami berkeyakinan bahwa perkara ini bukan merupakan kewenangan absolut Pengadilan KhususTindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka Yang Mulia Majelis Hakim wajib menghentikan pemeriksaan pokok perkara ini,” ujarnya.  syam/kop.

Pewarta : Syamsuri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here